SYAHADAT BERSAMA SENJA

N. HIDAYAH
Chapter #3

SEMUA ORANG EGOIS


Jam dinding di kelas menunjukkan waktu pulang masih lima menit lagi. Buru-buru aku menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia yang guru berikan. Aku ingin segera keluar dan berlari untuk menunggu Yuli keluar dari kelasnya, namun belum sempat aku menyelesaikan soal nomor terakhir ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Sarah.

Aku ingin menolak panggilannya, namun itu hanya akan membuat Sarah mendatangiku dengan tampang cemberut. Mau tidak mau aku izin ke kamar mandi untuk mengangkat panggilannya.

“Yudha,” pekik Sarah membuatku menjauhkan ponsel.

“Ada apa, Sarah?”

“Nanti anterin aku beli bunga!” jawabnya dengan nada suara lirih.

Kenapa nada suaranya mendadak berubah? Aku harus menolak keinginannya karena nanti aku ada rapat Osis. Aku juga sudah ada rencana untuk mengambil buku yang Yuli curi dari tempat persembunyianku.

“Aku sudah tanya Radit katanya hari ini Osis gak ada pembahasan serius, pembahasan untuk kegiatan bulan bahasa masih minggu depan, jadi hari ini aku pengen ngajak kamu untuk beli bunga,” lanjut Sarah.

Dia tidak memberiku pilihan. Mungkin kata ‘ngajak’ yang dimaksud lebih tepat disebut ‘memaksa’.

Begitulah Sarah yang permintaannya selalu aneh, namun aku tidak tega jika harus menolaknya karena Sarah adalah kakak kelas yang banyak membimbingku. Bukan hanya itu, orang tua kami pun akrab, itulah kenapa aku merasa harus bersikap baik padanya. Sebenarnya kami sudah dekat sejak kecil ketika menetap di Semarang, namun karena urusan bisnis keluarganya pindah ke kota ini kami pun berpisah. Untungnya, dua tahun kemudian papaku juga pindah ke sini sehingga kami bisa satu SMP dengannya.

Sarah selalu begitu, menganggapku akan selalu menurutinya—meskipun sejauh ini aku tidak pernah menolak—permintaannya, namun tetap saja. Seharusnya dia bertanya terlebih dahulu apakah aku longgar, apakah aku ada kesibukan lainnya, tapi dia tidak pernah bertanya soal itu karena yang dia tahu kesibukanku hanya tentang belajar, voli, dan organisasi saja. Bagi Sarah, kegiatan di luar ketiganya tidak dianggap penting.

Mungkin ini saatnya bagiku untuk sedikit demi sedikit menjaga jarak dengannya. Aku tidak ingin membuatnya amat terluka jika suatu hari nanti aku tidak bisa lagi menuruti keinginannya, dan aku tahu waktu itu akan datang cepat atau lambat.

“Tapi, Sarah,” ucapku lirih, aku belum siap menolaknya.

“Tapi kenapa?”

“Beli bunga buat acara apa dan kapan acaranya?” tanyaku lirih.

Aku mencoba memastikan apakah dia mengajakku membeli bunga untuk sesuatu yang lebih penting dari rapat Osis atau hanya untuk membuatku menghabiskan hari dengannya.

“Kenapa kamu tanya gitu?” tanya Sarah dengan nada protes, sekarang dia pasti sedang memasang wajah cemberut.

“Bagaimana pun aku harus rapat, Sarah. Terlepas itu penting atau nggak tetap saja aku punya kewajiban untuk datang ke rapat karena aku adalah bagian dari kepengurusan. Kalau kamu mau minta aku buat nemenin berarti tunggu aku pulang, please kamu ngertiin dong posisi aku,” jawabku lirih.

Sarah tidak membalas ucapanku membuatku merasa bersalah karena sudah mengatakan sesuatu yang demikian jujur. Beberapa detik kemudian aku mendengar helaan napas kecewa.

Aku yakin jika Sarah ada di posisiku dia pasti akan melakukan hal yang sama. Setahuku dia gila organisasi, tapi entah mengapa setelah naik kelas dua belas yang akhir semester ini akan lengser Sarah jadi sering memintaku melewatkan rapat untuk menuruti keinginannya. Pernah suatu hari dia memintaku melewatkan latihan voli hanya untuk menemaninya ke bioskop karena film yang sudah dinantikannya tayang hari itu.

“Oke, kalau gitu aku beli sendiri saja,” ketusnya.

Sorry, aku nggak bisa nemenin kamu kali ini.”

Sarah menutup sambungan telepon, tidak mau mendengarkan permintaan maafku yang mungkin akan membuatnya tersudutkan karena memintaku melewatkan rapat. Sudahlah.

Kegiatan yang dilakukan pengurus Osis memang bisa dikatakan hampir setiap bulan ada event yang diagendakan, terutama di semester ganjil begini; Agustus lalu kami menyiapkan event untuk memperingati HUT RI, kami membuat perlombaan antarkelas, dilanjutkan dengan bulan September; kami ada kegiatan Isra’ Mikraj, meskipun aku dan kawan-kawan Kristiani tidak ikut merayakan kami tetap terlibat dalam persiapan, bulan Oktober alias Bulan Bahasa; kami sibuk dengan perlombaan cipta puisi; cipta cerpen; pidato; debat; dan story telling, November kami ada kegiatan Hari Pahlawan yang dimeriahkan dengan Pensi, Desember adalah puncaknya; kami mengadakan Porseni selama satu pekan dan ditutup dengan sertijab sekaligus piknik bagi pengurus Osis.

Tettt… Tettt… Tettt… Tettt…

“Astaga, aku belum selesai mengerjakan soal.”

Buru-buru aku kembali ke kelas dan menyelesaikan satu soal terakhir. Untung saja masih ada beberapa teman yang belum selesai mengerjakan latihan, guru juga masih di kelas dan bersedia menunggu lima menit lagi karena ini sudah jam pelajaran terakhir sehingga beliau tidak buru-buru meninggalkan kelas.

“Ini, Bu,” lirihku menyerahkan hasil pekerjaanku.

Suara gemuruh kaki para siswa memenuhi lorong-lorong kelas, beragam suara tercipta dari tiap-tiap merek sepatu. Suara sepatu anak-anak ekstrakurikuler basket kebanyakan terdengar berdecit dan berat, namun dipaksa untuk berlari mengejar teman-temannya. Ada juga suara ketoplak pantofel siswa paskibra dan pramuka yang terdengar agak cempreng, dan beragam suara lainnya.

Beberapa kelas terlihat memuntahkan siswa-siswanya dari daun pintu yang baru saja terbuka, berkejaran untuk sampai di parkiran lebih dulu. Jam pulang sekolah selalu membuat parkiran dan gerbang sekolah macet, semua orang berdesakan untuk pulang lebih awal, entah apa yang sebenarnya mereka kejar. Berbeda dengan siswa biasa, pengurus Osis dan beberapa siswa ekstrakurikuler justru nyaris selalu pulang paling akhir karena masih ada kegiatan yang harus mereka lakukan.

Sedangkan aku? Aku memang berjalan dengan terburu-buru, tapi bukan untuk bisa pulang lebih awal ataupun rapat lebih awal melainkan ingin segera bertemu dengan Yuli. Aku sudah membuat rencana, yaitu dengan pura-pura bermain game online di depan lab komputer, kemudian Yuli datang dan tanpa sengaja kami akan berangkat ke ruang rapat bersama. Setelah itu aku akan memantiknya untuk menyebutkan beberapa judul buku yang menarik. Iya, setidaknya itulah rencanaku.

Sekilas rencanaku memang terdengar konyol, tapi itu lebih aman daripada bertanya ketika di ruang rapat atau di perpustakaan karena di kedua tempat tersebut akan ada teman-teman yang memerhatikan obrolan kami. Berbeda dengan momen pulang sekolah yang tidak terlalu diperhatikan karena orang-orang sibuk dengan jam pulangnya masing-masing.

“Woy, mau ke mana?” tanya Damar sembari merengkuh bahuku.

Badannya lengket oleh keringat, pasti dia baru saja bergabung dengan teman-temannya bermain futsal karena tampak beberapa siswa di lapangan futsal, ada yang memakai kaos futsal, ada juga yang masih mengenakan seragam batik.

“Mau wifi-an,” jawabku sambil menunjuk area lab komputer di dekat ruang tata usaha.

Damar kembali ke lapangan karena waktu rapat masih lima belas menit lagi. Aku pun duduk di depan lab komputer sembari memainkan ponsel. Tanganku sibuk namun mataku tidak sabar menunggu Yuli muncul dari lorong area kelas sepuluh yang terletak di belakang lab kimia di sisi utara lapangan futsal.

Rapat akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi dan Yuli masih saja belum muncul. Dia mungkin akan muncul sendirian karena setahuku dia satu-satunya pengurus Osis dari kelasnya, tapi entah jika ternyata dia muncul dengan pengurus dari kelas lain. Jika itu terjadi, maka aku harus menjalankan rencana kedua, yakni langsung bertanya bahkan menggunakan cara ‘melabrak’ besok.

“Aku duluan ya, Yul.”

Sebuah suara membuatku terkesiap, ini bukan karena orang yang mengucapkannya, namun karena orang yang disapa ‘Yul’ mungkin adalah sosok yang kutunggu. Aku bangkit dan bersikap seolah-olah akan menuju ruang rapat yang terletak di dekat area kelas dua belas. Ekor mataku mencuri adegan Yuli melambaikan tangan pada salah seorang teman perempuannya yang beberapa waktu lalu kulihat memeluk Yuli di hari pengumuman penerimaan pengurus Osis, sepertinya mereka cukup akrab.

“Hai, Kak Yudha,” tegur Yuli membuatku agak terkejut.

“Hai,” sapaku datar.

“Mau ke ruang rapat bareng nggak, Kak?” tanya Yuli dengan gerakan menunjuk menggunakan ibu jari. Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu.

Lihat selengkapnya