“Aku tahu dari Pak Danu kalau kamu yang pinjam buku Biografi Keluarga Nabi,” ucapku lirih.
Rencana keduaku berantakan, aku tidak sabaran ingin mengetahui keberadaan buku itu, jadi aku langsung saja bertanya pada Yuli ketika kami piket perpustakaan hari ini. Aku tidak mau basa-basi lagi, aku tidak suka.
Yuli mengerutkan dahi, dia pasti heran dengan sikapku yang tiba-tiba menanyakan tentang buku tersebut. Dia tentu tahu kalau selama ini aku adalah salah satu siswa Kristiani di sekolah ini, dia juga pasti sudah mendengar dari Sarah bahwa aku adalah penganut agama yang taat dan rajin sembahyang setiap akhir pekan.
“Bukan aku yang pinjam,” timpalnya sembari menata kembali buku di rak.
“Hanya ada satu siswa yang bernama Senja Yuliani di kelas sepuluh empat, jika itu bukan kamu, lalu siapa?” tanyaku penuh penekanan.
Yuli memutar bola matanya, mencoba mengingat sesuatu.
“Oh iya, sebenarnya yang pinjam buku itu bukan aku, tapi Kania, Kak. Berhubung dia nggak bawa kartu perpustakaan, akhirnya dia pake kartuku,” jawab Yuli dengan menelungkupkan tangan di depan dada, dia merasa bersalah.
“Lagian, itu salah Kak Yudha kenapa nyimpen buku di situ, kenapa nggak dipinjam saja biar aman. Kalau sudah begini terus bagaimana. Itu salah Kak Yudha sendiri,” imbuh Yuli.
“Sudahlah, nggak usah diteruskan. Aku yang salah.”
Menyebalkan. Susah payah aku membuat rencana supaya Yuli mau memberikan buku itu padaku, ternyata bukan dia yang meminjam. Aku mendengus kesal dan bangkit, Yuli mengikutiku ke sudut perpustakaan dengan memasang wajah bodoh, bibirnya bergerak-gerak seperti menyimpan pertanyaan.
“Kenapa?” tanyaku mencoba membuatnya berbicara.
Ekspresi wajah Yuli langsung berubah. Dia menarik kursi di sampingku dan membawanya ke depanku, kini kami saling berhadapan. Suara derit kursi yang ditarik Yuli membuat Pak Danu memanjangkan leher dan melirik ke arahku, beliau mungkin khawatir denganku. Aku memberi isyarat anggukan pada beliau sebelum akhirnya beliau kembali fokus dengan komputernya. Kawan-kawan Osis yang piket tampak tidak ingin tahu dengan pembicaraanku dan Yuli, mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing.
“Aku yang harusnya tanya kenapa, kenapa Kak Yudha baca buku itu?” lirih Yuli.
Yuli celingukan memastikan tidak ada pengurus yang menguping atau tiba-tiba nimbrung obrolan kami yang akan kusebut sebagai obrolan ‘rahasia’.
“Karena saya ingin,” jawabku sekenanaya sembari menyandarkan tubuh di punggung kursi.
“Ingin apa?”
“Ingin kenal Islam,” jawabku sembari menghindari tatapan Yuli.
Satu sampai lima detik berikutnya kami saling diam, membiarkan pikiran kami menyiapkan segala kata-kata untuk menjawab lawan bicara. Ah, kenapa aku terlalu terbuka pada gadis di depanku, lihat wajahnya yang tampak bingung namun lucu, dan entah mengapa kepolosannya membuatku percaya bahwa dia tidak akan membocorkan ‘rahasiaku’ pada siapapun. Anak rambut Yuli bergerak-gerak tertiup angin yag masuk melalui jendela di samping kami. Suara keran Mushola terdengar, memecah kesunyian di antara aku dan Yuli.
“Kalau Kak Yudha mau, bukunya akan aku perpanjang peminjaman setelah UTS, aku nggak mungkin minta Kania untuk balikin bukunya sekarang,” lirih Yuli agak ragu dengan kalimatnya.
Aku ingin menolak, tapi mau bagaimana lagi, daripada bukunya dikembalikan dan dipinjam orang lain yang belum tentu bisa langsung kupinjam setelahnya, lebih baik menerima tawaran Yuli yang sudah bisa dipastikan akan kudapat buku itu lagi meski harus menunggu sampai selesai UTS.
“Oke, tapi kamu nggak boleh cerita ke siapa-siapa, Yul,” jawabku diakhiri dengan penekanan untuk memastikan bahwa Yuli tidak akan mengatakan apa yang dia ketahui tentangku dan buku yang kucari hari ini.
“Termasuk Sarah, Kania dan Yuma,” imbuhku.
Aku khawatir jika dia tidak bisa menyimpan rahasia pada teman dekatnya. Semoga saja dia bisa menyimpan ini dari mereka sebagaimana aku menyimpan rahasia ini dari Sarah. Yuli terdiam, menggerak-gerakkan bibirnya seakan menahan huruf-huruf yang mencoba keluar dari bibir mungilnya.
“Ada syaratnya,” celetuk Yuli membuatku mengerutkan dahi.
“Syarat apa?” tanyaku agak kesal karena dia terdengar mempermainkan sekaligus memanfaatkanku.
“Kak Yudha harus datang ke stand kelompok seni budayaku setelah UTS, kalo bisa bawa teman-teman Kakak juga,” jawab Yuli santai.
Ah iya, di sekolah kami sudah biasa ada kegiatan pameran kesenian setiap pekan kedua UTS untuk kelas sepuluh dan sebelas. Semua siswa diminta saling mengunjungi stand kelompok lain untuk mendapatkan poin dalam mata pelajaran Seni Budaya. Pameran dibuat di kelas masing-masing dengan membuat bilik atau sudut yang dihias sesuai dengan tema pameran kelompoknya, satu kelas dibagi menjadi tiga sampai empat kelompok.
“Akan aku usahakan.”
“Oh iya satu lagi,” ucap Yuli lagi membuatku nyaris mendegus kesal.
“Apa lagi?” timpalku.
“Apa yang membuat Kak Yudha tertarik dengan Islam?” bisiknya.
Yuli tampak tidak canggung mengobrol denganku membahas ini seakan-akan ini bukan hal yang perlu kusembunyikan.
“Kenapa kamu ingin tahu?” tanyaku mencoba menyudahi obrolan kami. Tapi Yuli tampak penasaran, matanya berbicara seolah memintaku untuk bercerita lebih banyak.
“Karena aku ingin tahu apa yang membuat Kak Yudha tertarik dengan Islam?”
Aku menghela napas panjang, mencoba menyusun kalimat yang tepat supaya bisa membuat gadis di depanku menyudahi keingintahuannya. Matanya membesar seakan berbicara supaya aku segera memberitahunya, tatapannya sangat tidak sabaran.
“Aku suka mendengar orang membaca shalawat apalagi dengan iringan suara rebana,” jawabku lirih.
Aku tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahku, tiba-tiba aku teringat suara merdu seorang anggota IRMA alias Ikatan Remaja Masjid-Mushola yang biasa melantunkan shalawat di Mushola sekolah.
“Wah, Masya Allah,” timpal Yuli dengan senyum merekah sampai memperlihatkan jajaran gigi putihnya.
“Ingat, jangan ember bocor,” imbuhku sebelum Yuli bangkit dari kursinya.
Pasti dia tahu apa maksud ‘ember bocor’. Sebuah istilah yang ditujukan pada orang yang tidak bisa menjaga rahasia orang lain. Yuli pun kembali ke tugasnya—menata buku bersama kawan-kawan Osis yang lain.
Pak Danu melirik ke arahku lagi seakan meminta sebuah penjelasan, beliau pasti penasaran tentang apa yang aku katakan pada orang yang sudah mengambil buku yang kusembunyikan. Aku membalas lirikan Pak Danu dengan anggukan mantap, sebuah isyarat bahwa semua baik-baik saja.
Dari tempat dudukku aku memerhatikan Yuli. Aku sedikit khawatir jika dia keceplosan mengatakan sesuatu yang kami sepakati sebagai ‘rahasia’ kepada orang lain. Maklum, setahuku perempuan suka membeberkan sesuatu saat terbawa suasana seperti Sarah, tidak salah jika aku khawtair Yuli akan mengungkap ‘rahasiaku’ ketika kawan-kawan Osis berbicara tentangku.
Aish, Yuli menoleh ke arahku sembari membuat isyarat gerakan menutup mulut dengan menggunakan tangannya sebagai ritsleting di bibir. Oke, aku akan percaya padanya mulai sekarang.
Selama ini aku merasa bahwa ketertarikanku pada Islam seperti sebuah pohon yang tumbuh berdesir di dadaku, setiap kali aku mendengar shalawat, tilawah al-qur’an atau membaca buku islami pasti pohon itu berdesir dan tumbuh semakin tinggi dan lebat. Dan kepercayaanku pada Yuli hari ini sedikit membuat pohon iman di hatiku tumbuh satu batang baru yang lebat daunnya.
****
Yuli menepati janjinya, dia bersedia menyerahkan buku yang kuinginkan ketika aku berkunjung ke stand pameran kelompoknya yang mengambil tema Grow Together dengan meminta setiap pengunjung mengecat ibu jarinya kemudian ditempel di sebuah papan besar. Yuli memberiku dua bungkus permen rasa lemon sebagai suvenir kunjunganku.
“Kakak nanti ke perpustakaan ‘kan?” tanya Yuli.
Aku mengangguk, rasanya belum tepat jika kami terlihat akrab.
“Aku nggak mungkin ngasih bukunya di sini, banyak orang, Kak,” lirih Yuli dengan wajah tersenyum kikuk supaya tidak ada yang mengetahui bahwa dia berbicara denganku. Baiklah.
“Oh iya, jangan lupa mampir ke stand kelompokku juga,” ucapku kikuk sebelum meninggalkan stand kelompok Yuli.
“Apakah lebih bagus dari pameranku?” Yuli menggodaku.
“Jelas,” jawabku diakhiri dengan tawa puas.