Hubungan simbiosis mutualisme antara aku dan Yuli terus terjalin. Kami makin akrab jika hanya sedang berdua, saking akrabnya aku mulai tidak keberatan ketika dia membawa bekal makan siang yang akan dibaginya denganku di sudut perpustakaan. Menu makannya makin beragam, kadang buah-buahan, kadang sandwitch, kadang kue mendut dengan isian sari kacang hijau yang menurut mulut dan perutku sangat mantap. Dan hari ini dia membawa buah melon.
Setelah Yuli memakan melon hampir setengah wadah, aku memintanya menjelaskan materi yang baru saja dia pelajari di kelas, menurutku mengulang pelajaran begini dapat mengukur kemampuan mengingat seseorang, aku juga jadi tahu tentang sudut materi apa yang sulit dipahami Yuli.
Aku serius mendengarkan Yuli menyelesaikan penjelasannya tentang cara hidup dan habibat jamur, mulai dari ciri-ciri jamur, struktur tubuh jamur dan cara mempereoleh makanannya, sesekali dia mengerutkan dahi dan mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen birunya ketika menekankan beberapa istilah yang sulit diingat. Mataku beralih pada buku LKS milikku terbitan tahun lalu yang memang isi materinya masih sama dengan LKS milik Yuli, sejauh ini apa yang disampaikan Yuli sudah cukup baik, hanya saja dia masih belum bisa membedakan definisi hifa atau deretan sel yang membentuk benang jamur.
“Salah satu jenis jamur yang hidup berkoloni atau berkelompok biasa kita jumpai bahkan kita konsumi,” ucap Yuli agak ragu-ragu.
“Jamur apa?” tanyaku mencoba memantik ingatannya.
“Jamur yang ada di tempe.”
“Namanya jamur apa?”
“Rhizopus sto loni fera.”
“Wah hebat,” timpalku sembari menyentuh ubun-ubun Yuli, dia melotot. Entah karena tidak menyangka akan mendapat pujian dariku atau karena tanganku yang sembarangan menyentuh kepalanya.
“Sorry,” lanjutku sembari menarik tangan dengan kikuk. Yuli mengangguk kikuk dan membetulkan posisi duduknya.
“Gimana, Kak, yang aku jelasin udah benar belum?”
“Beberapa udah benar, tapi ada satu yang bikin aku risi. Kamu masih salah membedakan hifa aseptat, hifa septat dan hifa multinukleus,” jawabku sembari menunjuk jenis hifa yang kumaksudkan.
Aku pun menjelaskan materi yang tadi kusebutkan dengan membuka ulang LKS milikku. Yuli mendengarkan sembari mengunyah sepotong melon, matanya fokus memperhatikan penjelasan dan gambaran hifa yang kubuat, sesekali aku menunjuk istilah dan hal-hal penting yang sudah kutandai di LKS milikku, Yuli penasaran dan memanjangkan leher lalu mengangguk ketika melihat catatan yang kubuat di sekitar kolom materi.
Setelah selesai menjelaskan, Yuli meminjam LKS milikku dan meniru catatan yang kubuat, dia meniru semua bentuk catatan termasuk semua kalimat yang kuberi tanda dengan stabilo kuning.
“Aku buat catatan sesuai dengan kebutuhanku,” ucapku membuat Yuli menghentikan kegiatannya.
“Maksudanya?”
“Kalau mau membuat catatan jangan nyontek, buat saja sesuai dengan kebutuhan kamu, aku mencatat hal-hal itu karena bagiku itu memang perlu untuk aku tulis, sedangkan kamu, sepertinya kamu tidak membutuhkan sebanyak itu.”
“Maksudnya?” tanya Yuli masih dengan wajah bodoh.
Kupegang wajahnya, mata kami saling bertatapan, baru kali ini aku menyentuh wajah Yuli, matanya bagus, anak rambutnya lucu, kedua ujung telunjukku menyentuh anting-antingnya. Dadaku berdegup dengan kencang, buru-buru aku menjelaskan maksud ucapanku, aku tidak boleh terlihat kikuk atau aku akan membuatnya tidak nyaman.
“Apa yang tidak ada di buku tapi disampaikan guru perlu kamu perhatikan, terutama siklus dan istilah-istilah penting, catatanmu tidak harus sama dengan catatanku, karena catatan adalah bahasa rahasia yang digunakan pemiliknya, sehingga hanya pemiliknya yang bisa membaca,” ucapku penuh penekanan.
“Jadi?”
“Jadi, ketika aku membuat catatan seperti ini karena itu akan membantuku lebih mudah memahami materi, begitu pun kamu. Kamu harus membuat catatan yang paling mudah untuk membuatmu paham ketika diminta untuk mengulagi materi ini,” jawabku sembari melepas wajahnya. Yuli manyun dan membetulkan posisi duduknya.
“Iya, iya, aku paham,” timpal Yuli.
“Jadi, besok-besok kalo guru jelasin di kelas dan terdengar menyampaikan sesuatu yang menurut kamu masih asing, silakan tanyakan dan catat jawabannya, nggak usah malu untuk bertanya,” ucapku lagi membuat Yuli mendengus kesal.
“Sekarang kamu baca materi selanjutnya dan perhatikan garis besarnya, beri tanda pada kata atau kalimat yang asing menurut kamu, jika di pertemuan besok guru tidak menjelaskannya, silakan ditanyakan juga,” lanjutku lagi.
“Siap, Pak,” timpal Yuli dengan gerakan hormat.
Yuli membuka materi selanjutnya sebagaimana kusampaikan, tangan kananya sibuk memainkan pulpen biru, sesekali dia melingkari istilah-istilah biologi, dia juga membuat catatan di pinggir kolom materi dengan pulpen birunya. Di tengah membaca, Yuli terdiam seperti mengingat atau membayangkan sesuatu terkait materi yang dibaca, aku tersenyum melihat tingkahnya. Aku terus memperhatikan Yuli, tanpa sadar dia melirik ke arahku, buru-buru aku mencomot buah melon di wadah supaya dia tidak salah paham.
“Sudah,” ucapnya bangga. Aku pun mengecek hasil catatannya, bagus.
“Gara-gara ngomongin jamur, jadi pengen jamur crispy, hahaha,” imbuh Yuli diakhiri dengan tawa, aku hanya tersenyum.
Usai membahas materi dan menghabiskan buah, Yuli bercerita tentang ibunya yang menanam bunga baru di halaman padahal bapaknya sudah meminta untuk berhenti menanam bunga karena bunga di halaman mereka sudah banyak. Ini bukan pertama kalinya Yuli bercerita tentang ibu dan bapaknya yang berselisih soal bunga dan halaman rumah mereka.
“Oh, ini namanya kerang nanas,” ucapku setelah memastikan bahwa bunga yang diperlihatkan Yuli dari ponsel adalah kerang nanas yang pernah kulihat.
“Kerang nanas?”
“Iyah, bunga ini gampang berkembang, kalau sering disiram atau kena air hujan akan langsung gendut-gendut batang dan daunnya.”
“Terus kalau sudah gendut berbuah nanas?”
“Bukan begitu konsepnya,” timpalku geleng-geleng mendengar pertanyaan konyol Yuli, dia hanya bercanda. Dulu ketika bercerita soal bunga kumis kucing dia juga begitu, mengatakan bahwa dari bunga tersebut lahir seekor kucing ajaib.
“Efek kebanyakan baca fantasi,” lanjutku sembari menyentil jidatnya. Bukannya kesakitan Yuli justru cekikikan.
Kulihat Yuli asyik membuat catatan tambahan di LKS, kali ini bukan catatan pelajaran melainkan dia menuliskan ‘jamur krispy’ selalu saja begitu, selalu menulis apa saja yang terlintas di benaknya. Aku jadi teringat bagaimana dia menghabiskan sisa waktu UAS dengan menggambar dan mencorat-coret kertas soal, aku sempat memelototinya tapi dia tidak peduli dan terus saja menuliskan segala jenis makanan yang ingin dia makan saat buka puasa.
Sebelum kembali ke kelas Yuli memintaku untuk mendoakannya agar bisa masuk ke jurusan IPA, aku tidak begitu yakin tapi Yuli tampak percaya diri dengan kemampuan pelajaran biologinya yang sudah membaik.
“Kan ada Kak Yudha yang bakalan ajarin aku ngerjain soal-soal IPA.”
Kalimat Yuli membuatku tersadar bahwa waktu yang kutunggu kian dekat, namun entah kapan akan terjadi, yang jelas aku tidak akan selamanya berada di sini dan membantunya dengan pelajarannya lagi, akan ada masa di mana aku pergi meninggalkannya, meninggalkan sekolah ini.
“Oke, apapun jurusannya semoga kamu bisa menjalaninya dan dapat nilai yang memuaskan,” timpalku membuat Yuli mengamini dengan nada puas karena aku mendoakannya.
****
Aku memarkirkan sepeda motor di depan sebuah toko mie kuah seperti yang dilakukan pengurus lain, aku celingukan karena baru mengetahui bahwa keluarga Yuli punya bisnis warung mie kuah, selama ini dia tidak banyak bercerita tentang keluarganya selain ibunya yang suka menanam bunga krokot.
“Kita masuk lewat mana, Mar?” tanya Sarah.