Desember, 2013
Bulan demi bulan berlalu, halaman demi halaman buku yang kubaca menjadi saksi usahaku untuk mengenal Islam lebih dalam semakin banyak. Tanpa terasa semester satu akan segera berakhir, hari ini aku akan menghadapi UAS, sebuah tanda bahwa waktuku di sekolah tidak lagi banyak. Sudah waktunya bagiku untuk mematangkan niat, menyiapkan bekal dan menata perasaan untuk benar-benar melangkah pada jalan yang Allah tunjukkan, aku tidak mau jika Hidayah yang dibicarakan Pak Danu dan Yuli hilang sebelum sempat aku bersyahadat.
Gerimis masih mengguyur bumi sejak subuh tadi, membuat hawa menjadi dingin bercampur segar, namun sedikit membuatku malas bangkit dari tempat tidur. Jam setengah enam aku baru bangkit, kubuka jendela kamarku membiarkan hawa dingin mengisi paru-paru dan kamarku mengganti udara pengap yang semalaman terjebak di dalam kamar. Ini masih terlalu pagi untuk mandi, jadi kusempatkan diri membuka ulang beberapa materi pelajaran Bahasa Indonesia sembari mendengarkan shalawat melalui earphone.
“Sudah mulai UAS hari ini, Yud?” tanya Papa ketika kami sarapan.
“Sudah, Pa,” jawabku.
“Masih pakai sistem campuran?” tanya Mama tidak mau kalah antusias.
“Masih, kelas sebelas akan dicampur dengan kelas sepuluh, kelas dua belas akan dicampur jurusan,” timpalku sembari menyendok nasi goreng.
“Belajar yang giat, biar nilainya bagus,” timpal Papa.
Nafsu makanku mendadak hilang, Papa dan Mama memang begitu, mereka selalu antusias menunggu hasil ujianku karena bagi mereka itu adalah bukti kehebatan mereka dalam mendidik anaknya. Pelajaran yang selalu mereka nantikan nilainya adalah pelajaran biologi, matematika, kimia dan fisika.
Aku bersyukur karena selama ini mereka mendukungku untuk mendalami keempat pelajaran tersebut terutama biologi, mereka bahkan membelikanku microskop karena tahu microskop di lab biologi sekolah hanya boleh digunakan ketika jam pelajaran saja, hal itu tentu membuat orang tuaku memutuskan untuk membeli sendiri guna menunjang hobiku menggambar sel jaringan tumbuhan.
“Semoga Tuhan memberkati,” bisik Papa ketika aku pamit.
Papa menepuk bahuku tiga kali, sedangkan Mama memberiku sebuah kotak makan berisi sandwitch dan satu kotak minuman susu kacang hijau kesuakaanku. Ini adalah ritual UAS, Mama selalu membuatkan bekal sehat setiap UAS, di hari-hari biasa aku selalu menolak membawa bekal yang beliau buat, aku lebih suka makanan kantin, tapi untuk hari-hari UAS seperti ini aku harus menurut pada beliau yang tidak mau aku sakit perut karena sering membeli makanan sembarangan di sekolah yang berakibat pada kesehatan pencernaan dan mengganggu konsentrasiku.
Sejenak aku terdiam, menyapukan pandangan pada Papa dan Mama yang masih duduk di ruang makan. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah mereka siap mendengar keputusanku suatu hari nanti? Apakah mereka akan tetap bangga padaku ketika mendengar bahwa aku mengambil keputusan tanpa memberitahu mereka?
Aku ingin meminta mereka mengizinkanku melakukan satu hal yang kuinginkan sekali lagi, aku ingin diberi kesempatan menempuh jalan yang kubuat sendiri, aku tidak ingin seperti Bang Heri yang hanya bisa terus mengikuti jalan yang papa buat dan merelakan mimpinya. Selama ini Papa dan Mama memang sudah benar dalam memperlakukanku dan mengarahkanku sesuai bakat dan minatku yang sebenarnya mereka kendalikan, tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ingin aku lakukan di luar kendali mereka.
“Hati-hati, Nak,” imbuh Mama sembari melambaikan tangan.
Hatiku berdebar ketika sampai di depan ruangan UAS, di antara siswa yang sibuk membuka-buka ulang buku pelajaran dan LKS di sana ada Yuli yang juga sibuk membuka-buka buku LKS Bahasa Indonesia. Wajahnya serius dan sesekali menggerak-gerakkan bibir dan menghapal beberapa bagian yang penting. Melihatnya serius menghapal, aku mengurungkan niat untuk menyapanya.
Denah tempat duduk baru saja di pasang pagi-pagi sekali sebelum siswa berdatangan, hal ini membuat siswa tidak ada yang tahu pasangan duduknya, aku bahkan tidak menduga bahwa kelasku akan dicampur dengan kelas sepuluh empat, ditambah aku satu ruangan dengan Yuli.
Aku mendekat ke jendela untuk melihat denah yang sudah terpasang, mataku bergerak ke kanan kiri mencari namaku, dan ternyata aku duduk bersebelahan dengan Yuli. Kami tidak duduk bersama, kami hanya berada di jajaran yang sama, aku duduk dengan siswa dari kelas Yuli dan dia duduk dengan salah seorang teman sekelasku.
“Hallo.” Suara Yuli terdengar berbisik, kukira dia menyapaku ternyata dia tengah mengangkat telepon, siapa yang meneleponnya di waktu yang nyaris masuk waktu UAS begini.
“Aku selesai dzuhur, Put,” lirih Yuli namun aku bisa mendengar.
Ah, sepertinya dia sedang berbicara dengan sahabatnya, si Panglima berseragam SMK bernama Putra yang beberapa pekan lalu kutemui di rumah Yuli. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar suara Putra di seberang telepon.
Tettt… Tettt…
Bel berbunyi, sebuah tanda bahwa semua siswa harus bersiap dan berbaris sebelum masuk, semua siswa termasuk Yuli tampak gugup, buru-buru dia mengakhiri sambungan teleponnya.
“Yudha, ayo dibariskan,” ucap Bu Nada yang menjadi pengawas.
Baru saja aku hendak menolak, beliau langung melanjutkan kalimat.
“Agus ada di ruang sebelah, jadi nggak mungkin saya minta dia untuk membariskan peserta ruangan ini ‘Kan?”
Benar, Agus selaku KM kelasku itu ada di ruang sebalah. Akhirnya aku pun menyiapkan barisan dan masuk paling akhir. Semua siswa sudah duduk di tempat masing-masing, aku celingukan mencari tempat duduk, Yuli tersenyum ke arahku dan memberi isyarat untuk duduk di kursi sebelah kanannya.
“Hai, Kak,” sapa Yuli santai seperti biasa.