Februari, 2014
Gemuruh sorak sorai memenuhi gedung olahraga bercampur dengan aroma keringat dan parfum segala rasa yang memenuhi langit-langit. Sialnya aku mengenal beberapa parfum yang aromanya entah kenapa tiba-tiba tercium menjengkelkan karena bertebaran tidak sopan bercampur keringat; bubble gum, melati, stoberi, kopi, lavender, kembang mawar dan lain sebagainya.
Dari suara gaduh yang memenuhi langit-langit, telingaku menyusuri suara demi suara berharap mendengar Yuli meneriakkan namaku. Sayangnya, dia tidak meneriakkan namaku, nama pemain lain dari sekolah kami atau pun nama sahabatnya, Putra, yang hari ini menjadi lawan sekolah kami. Aku ingin mendengar Yuli meneriakkan namaku meskipun hanya sekali.
“SMA Tiga,” teriak Yuli.
Astaga mata kami saling menyapa, dia tampak malu, aku pun malu karena harus tampil di hadapannya. Kuyakinkan diri bahwa keberadaanku di sini untuk menunjukkan kemampuan tim voli sekolah, aku kesampingkan keinginan untuk membuat Yuli terkesan, ditambah aku menyadari betul bahwa lawan mainku adalah SMK Dua yang dikenal cukup unggul di cabang olahraga voli.
Mungkin jika Putra tidak ikut bertanding akan membuatku bisa bersikap benar-benar tenang tanpa peduli bahwa perhatian Yuli akan terbagi antara sekolahnya atau mendukung sahabatnya.
“Ingat, jangan ada pergerakan di luar rencana yang sudah kita bahas tadi,” ucap Pak Cipto menyadarkan pikiran konyolku.
“Siap, Pak,” sahut semua pemain kompak.
Kukerahkan kemampuanku di pertandingan terakhir ini, aku ingin mengakhiri pertandingan ini dengan kesan yang baik, aku ingin bermain full time, aku ingin maksimal memberikan energiku kepada tim, aku ingin adik-adikku melihat sekeras apa aku berjuang untuk tim kami, aku ingin tim kami menang dengan aku sebagai bagian dari kemenangan tim.
Lemparan demi lemparan melambung membuat penonton bersorak, berkali-kali aku melompat mempertahankan kekuatan tim dan mem-block bola keras dari pemain SMK.
“Tuhan, kuatkan kami,” ucapku lirih tepat ketika sebuah lemparan bola dari tim kami melambung terlalu jauh hingga keluar garis, service error. Poin bertengger 24-19, SMA masih memimpin.
Seorang pemain junior melambungkan bola tinggi, terjadi pukulan demi pukulan keras, lagi dan lagi aku melompat untuk mengembalikan bola sampai akhirnya bola yang Putra tahan melambung ke samping dan keluar garis, block out. Peluit panjang ditiupkan membawa kemenangan untuk SMA di set pertama. Peluit panjang tanda aku diperbolehkan melirik ke arah Yuli yang memasang wajah bahagia.
“Sialan,” geram Putra.
Belum selesai aku mengatur nyeri di lututku, tiba-tiba hatiku ikut nyeri dengan tingkah Putra yang mencari perhatian semua orang. Putra berjalan ke tengah lapangan kemudian berhenti di bawah tribun penonton SMA tepatnya menghadap ke arah Yuli, entah apa yang mereka berdua bicarakan yang jelas Yuli agak kesal dan sedikit malu karena orang-orang menggodanya.
Di set kedua pemain SMK tidak memberi celah pada pemain SMA untuk mempertahankan keadaan, dengan menahan nyeri di lutut aku terus memaksakan kakiku melompat, sesekali aku merunduk dan memijit lututku supaya tidak ketahuan. Tapi terlambat, hasil set kedua membocorkan kondisiku yang memburuk. SMK menang dengan skor 25-22.
Di set ketiga aku masih terus bermain, sesaat kurasakan perih di lengan kananku yang sudah berkali-kali menahan bola. Bukan hanya tanganku saja, lutut kananku semakin terasa nyeri setelah mendarat dari lompatan terakhir, namun aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan adik-adikku, aku tidak ingin membuat mereka merasa sedih dengan kondisiku. Namun Pak Cipto paham, beliau menarikku keluar untuk digantikan dengan pemain baru, aku mendengus kesal dengan tetap mencoba tersenyum di hadapan pemain yang menggantikanku.
“Nanti kamu masuk lagi di set keempat,” ucap Pak Cipto mencoba meredakan kesalku karena digantikan.
“Ini tempelin dulu, Yud,” ucap salah seorang pemain cadangan sembari menyerahkan kompres dingin yang langsung kusambar.