20 tahun yang lalu.
Putri mengintip dibalik tirai pintu kamar dengan mengendap-endap. Seluruh tubuhnya gemetar menyaksikan Ibu kandung yang dipukuli secara brutal oleh si Ayah. Ia mencoba mencerna persoalan orangtuanya, tapi yang ia rasakan saat itu hanya takut dan takut. Terlihat si ibu memohon dalam tangis supaya si Ayah berhenti menghajar. Tapi kenyataannya, si Ayah justru makin keras memaki, memukul, bahkan menendang Ibunya yang sudah tidak berdaya. Wajah memar disana sini, rambut acak-acakan.
“Ibu!!”
Putri akhirnya mampu berteriak sekuat-kuatnya, setelah bibirnya terasa keluh. Air matanya berlinang. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang, dan kontan membuat tubuhnya jatuh ke lantai. Ia mencoba menghampiri Ibunya dengan bantuan pantat dan tangannya. Kakinya belum cukup kuat untuk membuatnya mampu berdiri tegak. Si ayah yang kaget menatap ke arah Putri langsung berjalan cepat meninggalkan rumah sambil membanting pintu.
"Putri sini Nak, maafkan ibu Nak. Ibu nggak kenapa-kenapa. Ayah tidak bermaksud menyakiti Ibu kok sayang, sudah ya kamu jangan menangis.” Si Ibu mengusap air mata Putri yang berlinang, memegang kedua pipi putri semata wayangnya tersebut, lalu memeluk si Putri dengan erat.
***
“Ah, kenapa aku jadi baper begini sih. Coba deh Mbak Andra, Mbak Uki, dan Neira baca-baca soal literatur tentang inner child, nanti pasti menemukan sesuatu." Putri terus mencoba menahan air matanya supaya tidak terjatuh.
"Sekarang saatnya makan bersama, kasihan kalau makanan sebanyak ini ini dicuekin.” Putri langsung meraih piring, meraih nasi goreng dengan udang asam manis sebagai lauk.
" Ehm, enak banget. Pilihanku kali ini pas." Lanjutnya dengan senyum yang dipaksakan.
Putri berusaha sebaik mungkin untuk mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana, sekalipun gesture- nya tetap kaku.
“Ah, bener. Soal obrolan berat itu, mending kita bicarakan lain kali. Sorry ya Put sebelumnya, kalau aku merasa sok tahu dengan masalah kamu, dan ...” Neira belum sempat melanjutkan kalimatnya.
"Sudah, nggak masalah. Mending kita makan bareng.” Potong Putri, takut Neira kembali membahas ke ranah pribadi.
Uki pun kembali menyeruput strawberry milknya dengan pikiran menggantung. Ia ingin sekali Putri melanjutkan cerita, sayang Ia mendadak sungkan jika memintanya terang-terangan.
Beruntung, ponselnya bergetar dan menyelamatkan Uki dari suasana kaku di meja makan. Sebuah panggilan masuk dari tunangannya, membuat Uki beranjak, menggeser kursi dan melipir ke ruang tengah demi leluasa mengobrol dengan tunangannya tersebut.
“Iya sayang kenapa?!” tanyanya setelah duduk di sofa berwarna putih tulang.
"Mama tadi telepon, pengen kita ikut makan malam bareng hari ini. Kamu bisa kan?” tanya Dion, yang kontan membuat Uki benar-benar tersedak.
“Pelan-pelan Kak,” ucap Neira yang diikuti dengan gelak dan senyum Andra juga Putri. Andra mengatupkan jempol dan telunjuknya ke arah Neira.
"Kok dadakan sekali?!” tanya Uki.
“Kenapa? kamu nggak suka? ada acara?” tanya Dion.
“Ya, nggak sih. Cuma, aku jujur nggak nyaman Dion kalau ketemu Mama kamu, karena bahas pernikahan terus, pengen cepet-cepet. Ya oke, kita memang sudah tunangan, tapi, aku ingin mempersiapkan semuanya pelan-pelan, tanpa dipaksa-paksa." Ujar Uki.
"Aku malah yang justru bingung sama kamu. Kamu itu aslinya mau nikah sama aku, atau masih mencari-cari pria lain yang menurut kamu lebih kompeten dijadikan suami dibanding aku atau bagaimana sih sebenarnya?!”
“Nggak Mas Dion, bukan soal itu. Please lah ngertiin aku.” Uki merubah posisi duduknya lebih tegak. Ia lalu memilih meletakkan gelas kemasan strawberry milk yang sedari tadi masih di genggaman.
“Tolong jelasin, bagaimana cara aku ngerti kamu Ki? Udahlah, aku capek kalau sudah bahas orangtua aku, ujung-ujungnya kamu ngerusak mood, padahal selama ini Mama Papa aku selalu bersikap baik loh ke kamu?!" Terdengar helaan napas panjang Dion.
"Gini saja, kamu mau nggak makan malamnya?! Kalau tidak ya sudah. Mungkin kita perlu break dulu!” Dion langsung mematikan sambungan telepon.
Uki menghela napas, seketika air matanya berjatuhan. Ia sendiri tidak bisa memahami apa yang Ia takutkan. Tapi ketakutan akan masa depan yang terlintas begitu nyata di benak, membuatnya dihantui perasaan gelisah ketika melangkahkan kaki menuju masa depan bersama Dion.
***
17 tahun yang lalu,
Sepulang sekolah, ketika Uki melepas kaos kakinya di depan pintu ruang tamu. Ia melihat adik dari Mamanya mengusap air mata di wajah. Diam-diam Uki menguping pembicaraan mereka.
“Mas Bram terus menuduh saya mandul Mbak, padahal saya sudah cek lengkap, tidak ada yang salah. Justru Mas Bram yang tidak mau cek keseburan. Ngotot kalau akar masalahnya di saya.” terlihat si Tantenya Uki yang sedang terisak. Sesekali Ia mengusap air matanya dengan sapu tangan. Mamanya Uki haya mengelus punggung adik kandungnya dengan tatapan prihatin.
Uki tidak bisa mengintip lebih lama, kaos kaki yang ia lepas sangat perlahan tetap membuatnya tidak mampu menguping sampai tuntas. Apalagi kehadirannya sudah diketahui oleh Mamanya. Demi menghindari kecurigaan si Mama yang nantinya akan memarahi Uki. Uki langsung meraih sepatunya dan memilih setengah berlari menuju ke kamar.
“Ki, beri salam dulu ke Tante kamu, kok main nyelonong pergi.” Ujar Mamanya Uki yang langsung disambut dengan senyuman khas Uki antara malu-malu dan salah tingkah. Uki langsung berjalan ke arah adik dari Mamanya tersebut lalu mencium tangan kanannya.