Satu jam kemudian, semua berkumpul masih dalam keadaan sedih, Saga berdiri dan menyampaikan eulogi. “Oke sebelumnya, saya turut berduka cita, dan terimakasih karena sudah bersedia berkumpul di ruangan ini. Saya mengerti kondisinya masih berduka dan shock, tetapi saya mesti sampaikan hal ini. Sebelumnya perkenalkan saya Saga, saya ditelepon Pak Sandy tiga puluh menit yang lalu. Beliau bilang dia akan mati malam ini dan saya terlambat, lalu beliau bilang kalau terlambat dia minta tolong untuk temukan surat. Kumpulkan orang yang ada di rumah, dan carikan orang yang membunuhnya, lalu minta Imelda untuk menelpon Darmawan dan membacakan surat wasiat. Kata-kata di telepon sama persis dengan isi surat ini, dan satu lagi... Ini penting. Tolong jangan bacakan surat warisannya sebelum saya temukan pelakunya!”
Saga menyelesaikan pidatonya.
“Jadi Papah udah tau kalau dia akan dibunuh?” Ryan sigap mencari tahu kebenaran.
“Iya, tapi ia tidak tahu siapa yang akan membunuhnya. Apa sebelumnya beliau nggak pernah cerita soal ini?” Saga bertanya ke semua orang.
“Nggak pernah, dia paling cerita kalau dia selalu catat kejadian hari demi hari, katanya sih udah mulai pikun,” jawab Mamah Imelda.
“Saya juga sebenarnya tidak tau banyak tentang apa yang papah kalian rasakan, namun sesekali dia nelpon saya sekedar untuk curhat dan cerita kalau dia lagi happy, kalau dia juga lagi sedih, dan dia selalu happy kalau bisa makan malam bareng anak-anak nya, terutama dengan Ryan," Saga menoleh ke Ryan.
Ryan hanya tersenyum sopan. Opie sinis. Cella terus mengusap pundak Ryan menenangkannya. Sesekali Cella memperhatikan situasi rumah dan orang-orang.
“Sesuai dengan surat yang ditulis Pak Sandy, ini saatnya saya untuk mencari tau siapa pembunuh beliau. Sambil menunggu satuan saya datang, saya minta waktunya pada kalian. Oh ya, apa sudah kumpul semua orang yang ada di rumah ini?” Saga melanjutkan.
“Belum. Su…suami saya nggak ada Pak,” Opie bersuara ragu.
Semua orang melirik ke Opie.
“Kemana suami anda?”
“Terakhir sih saya lihat dia tidur di sebelah saya, tapi pas ada keributan saya terbangun dan melihat suami saya sudah tidak ada,” Opie menjawab Saga.
Saga bertanya ke semua orang : ”Ada yang lihat suaminya?”
“Saya lihat pak, dia pergi keluar,” jawab Cella. Opie melirik tajam.
“Posisi Anda dimana waktu itu?” Saga fokus ke Cella.
“Di sini Pak, tepat di kursi ini, waktu itu saya lagi nunggu Ryan buat pulang bareng.”
“Jadi dia… Pergi keluar,” Saga men-scan seisi ruangan dan melihat ke Usman.
“Kamu security disini?” Saga menunjuk Usman.
“Iya, Pak,” Usman sigap menjawab.
“Apa Anda melihat saudara Aries keluar?”
“Tidak, Pak.” Usman tidak bisa membantu Saga.
“Jadi tadi nggak ada yang keluar sama sekali?” Tanya Saga ke semua orang.
Semua orang melirik satu sama lain.
“Nggak tau juga sih, Pak, karena waktu itu saya ketiduran," Usman berusaha membantu.
Si Mbok menggelengkan kepala. Cella menghela nafas lega. Ryan menatap wajah Cella.
“Kamu tuh loh man, kalau kerja jangan tidur melulu,” Mbok Inah geram kepada Pak Usman. Usman malu menundukkan kepalanya.
“Ada yang bisa telepon Aries?” Saga meminta orang rumah.
“Saya aja, Pak” Opie membuka handphone-nya.
Telepon tersambung, “Halo, Mas. Kamu dimana sih Mas?” Opie cemas.
“Aku lagi diluar ada urusan mendadak, maaf tadi tidak bilang dulu ke kamu,” dari balik sambungan Aries menjawab. Dia mendengar nada cemas Opie. “Pie, kamu kenapa?”
“Pulang sekarang, Mas… Papah…. Euh…” Opie terisak sulit melanjutkan.
Saga menyodorkan tangan. Opie memberikan handphone-nya kepada Saga.
“Halo, Aries? Ini Saga.”
Saga menelpon Aries. Sementara itu, satuan Saga tiba di lokasi mereka berjumlah enam orang. Dengan perawakan tinggi besar, rambut gondrong, dan membawa senjata tertutup di balik jaketnya.
“Siap, Pak!” Seorang prajurit mengangkat tangan untuk memberi hormat.”
Saga memutus sambungan telepon dengan Aries.
“Jenazah almarhum ada di kamar atas, kalian evakuasi dan ambil barang yang ada disana untuk barang bukti, jika kalian menemukan surat atau buku apapun kalian bawa ke saya,” Saga memberi perintah.
“Siap!” Pasukan bergegas menuju kamar atas, Saga melanjutkan interogasinya.
“Saya kemungkinan belum bisa melanjutkan ini semua, karena saya belum mendapatkan barang bukti yang kuat, tapi saya meminta kalian bersedia untuk diinterogasi,” Saga menjelaskan.
Tiba-tiba, Aries datang tergesa, langsung menghampiri Opie. Semua memandangnya.
“Sayang gimana kejadiannya. Mah Papah kenapa ?”
Opie tidak menjawab. Aries melirik kepada mamah. Imelda Cuma menangis.
Ryan berdiri dan bertanya dengan nada tinggi, “Hey, kemana aja lo?!”
“Bukan urusan, lo!”
“Papah meninggal, lo malah pergi.”
“Emang gue bakal tau kalau Papah bakal meninggal, hah?”
“Lo tau nggak kalau Papah meninggal kenapa? Papah dibunuh!”
“Eh lo nggak usah teriak teriak kayak gitu anjing!”
Aries dan Ryan beradu mulut, Cella dan Opie memisahkan mereka berdua.
Imelda berdiri dan berteriak, “CUKUP!!! Kalian tuh kenapa sih, papah kalian baru meninggal kalian malah berantem, kamu Ryan. Kenapa kamu tiba-tiba sensi ke kakak mu hah!”
“Ya lah dia sensi, sekarang nggak ada lagi orang yang manjain dia,” Aries tersenyum sinis.
“Eh bacot lo!” Sahut Ryan. Di sebelahnya Cella menahan Ryan, ”Udah Yang, udah.”
“Kamu juga Ries, kerjaan ngebohong mulu! Musuhin Papah kamu, sodara-sodara kamu, kamu itu maunya apa sih? Sekarang jawab jujur, kamu dari mana barusan!”
“Aku tuh ada urusan, Mah.”
“Iya urusan apa?”
Aries ragu kemudian duduk, mata berkaca-kaca. Cella memperhatikan gerak gerik Aries.
Saga ambil alih obrolan. “Ok cukup, tenang semua, biar saya yang nanya saudara Aries. Oke saudara Aries, bisa Anda ikut ke sebelah sana?” Saga menunjuk posisi sambil membawa kursi.
Aries mengikuti Saga, dan duduk di kursi yang telah disediakan. Posisi tidak jauh dari kerumunan.
Ruang interogasi. Saga menginterogasi Aries. Mereka duduk berhadapan.
“Ok saudara Aries sudah tahukan kalau bapak Anda meninggal karena dibunuh. Baiklah saudara Aries, jam berapa Anda keluar rumah?”