Syarat dari Surat

Yuda Juanda
Chapter #4

Saling Tuduh

Tahun itu 1998, di tengah-tengah panasnya krisis moneter dan ketidakstabilan sosial. Ryan masih berumur 10 tahun dan ini flashback ingatan Ryan.

Ryan melihat bapaknya rusuh beranjak ke mobil bak berisi singkong dan tepung tapioka. Ryan bernarasi :

“Saya langsung mengejar bapak, namun-”

Ibu Imelda menahan Ryan, “Ryan udah jangan ikut-ikut”

“Pah, Papah! Aries ikut pah” Aries keluar rumah juga, Ibu imelda menahan.

“Kak Aries nyusul bapak dan meminta untuk ikut bersama Papah. Papah dan Mamah menahan Kak Aries.”

Mamah juga menahan Kak Aries.

“Pah, biar saya ikut bantu Pah, biasanya juga aku, kan, ikut nganter-nganter barang,” kata Aries.

“Ries, bantu jaga rumah, ya? Jalanan lagi banyak keributan,” kata Ibu Imelda.

Ryan meneruskan ceritanya, “Kak Aries, Papah dan Mamah terus berdebat dan lupa tentang saya, jadi saya menyelinap ke balik terpal bak mobil dan bersembunyi di balik singkong.”

Pak Sandy menyelesaikan perdebatan, “Oke, Aries kamu ikut tapi jangan keluar mobil”

Pak Sandy dan Aries bergegas ke mobil bak. “Mobil melaju, dan sepanjang perjalanan aku melihat orang-orang turun ke jalan. Aku masih kecil, belum ngerti apa-apa, yang aku ingat hanya rasa adrenalin petualangan.”

Aries mengenang masa lalu. “Namun, tiba-tiba mobil berhenti. Aku melihat sekelompok orang berusaha membobol gembok gerbang sebuah warung. Warung itu milik Pak Darmawan. Warung rekan kerja Papah. Papah turun dari mobil dan berjalan ke kerumunan orang-orang itu.”

Pak Sandy menyapa seorang dari kerumunan itu, “Ada apa nih, pak?”

“Warung kosong, nih, lumayan bisa digasak.”

“Tahu kosong, dari mana, Pak?”

“Di ketok-ketok gak ada orang, kok”

Ryan memandangi bapaknya dari sela-sela karung tepung dan akar singkong, “Papah mencoba menangani orang-orang itu, dan awalnya hanya satu orang yang memperhatikan Papah akhirnya sekelompok orang-orang itu semua memperhatikan Papah. Seorang dari kerumunan orang itu yang terlihat seperti ketua kelompok maju menghadapi Papah”

Si Ketua bertanya, “Bapak siapa nanya-nanya? Intel Pak?”, orang-orang mengerumuni Pak Sandy.

“Bukan, saudara-saudara saya cuman mau nanya kenapa Anda semua berusaha menjebol warung ini?”

Seorang dari belakang kerumunan berteriak, “Karena Mall udah kebakar, pak!” orang-orang tertawa.

Si Ketua mendekati Pak Sandy, “Bapak tahu sendiri, sekarang lagi masa sulit, kita-kita ini hanya rakyat yang kelaparan. Bapak Intel polisi atau militer? Kenapa gak langsung buka tembakan, HAH?! Kalian nunggu kita bakar nih toko Cina!?” Si Ketua berteriak ke sekeliling, dia berpikir kalau mereka sudah dikepung, dan Pak Sandy adalah intel aparat.

“Tenang, tenang, Mas, saya cuma rakyat juga,” Pak Sandy menenangkan. “Lihat di mobil?” Itu anak saya. Saya cuma kepala keluarga, dan warung ini juga milik keluarga juga yang sama seperti kita.”

Omongan Pak Sandy membuat Si Ketua kerumunan agak bingung.

“Oke, gimana kalau gini, saya ada tepung sama singkong, di balik terpal mobil saya, saudara-saudara bisa ambil dan bagikan ke semua orang, oke?”

Si Ketua mengangguk, “Oke.” Namun, orang disebelahnya menyanggah, “Kalo terpal itu isinya tim penembak gimana?!”

“Tidak mungkin. Sini, Saya buka.” Pak Sandy berjalan untuk membuka terpal, namun si Ketua menghentikan. 

“Biar saya yang buka,” kata Ketua kerumunan.

“Ketua kerumunan berjalan mendekati terpal dan membuka perlahan. Dia melihat anak kecil putih bertaburan tepung singkong, hahaha” Ryan tertawa kecil.

Pak Saga juga tersenyum tertawa kecil. Ryan melanjutkan ceritanya,”Setelahnya, kerumunan orang itu bubar membawa pulang isi mobil Papah, dan kami bergabung dengan keluarga Darmawan. Mereka sangat berterimakasih kepada Papah. Waktu itu saya masih kecil, tapi saya mengerti betapa takutnya keluarga Darmawan dikepung massa.”

Ryan fokus lagi ke Saga, “Dari kejadian itu, saya melihat Papah layaknya superhero, seorang yang mampu berani berdiri di hadapan massa. Karena itu saya ingin seperti Papah melalui karir saya sebagai aktor. Tapi…”

Pak Saga menebak, “Pada hari itu Aries juga berubah, ya.”

Ryan mengangguk, “Dia jadi lebih ambisius untuk menjalani usaha bapak, dan saya gak tahu kenapa. Soal itu sih tanya langsung Aries.”

“Oke kalau begitu, terimakasih waktunya.” Saga berdiri. Pak Saga mengulurkan tangan ke Ryan sambil berdiri.

Ryan ikut berdiri dan menjabat tangan Ryan, “Maaf pak, jadi cerita panjang-panjang.”

“Oh, tidak masalah, Ryan.”

“Masalah, dong? Bukannya detektif butuh bukti? Gimana kalo cerita tadi bohong?” Tanya Ryan.

“Kamu gak mungkin bohong, waktu itu aku juga ada disana.” Saga cuma tersenyum. Saga meninggalkan Ryan yang bingung dan menghampiri kerumunan.


Saga masuk ke ruang utama dan memanggil Alex. “Saya pengen ngobrol sama Anda, Den Alex.”

Alex yang sedang main game di hpnya berhenti sejenak. Saga menuju tempat biasa interogasi, Alex mengikutinya. Alex duduk berhadapan dengan Saga.

“Saudara Alex, jangan tegang gitu dong, saya cuma mau ngasih pertanyaan simple, setelah makan malam Anda pergi kemana ?” kata Saga.

“Aku pergi mengantarkan pacar, terus aku langsung kembali ke rumah.” Alex sedikit gugup.

“Siapa orang yang Anda lihat setelah kembali ke rumah?” Saga menatap Alex tajam.

“Pertama... Pak Usman, terus Pak Risto, terakhir... kak Cella.” Alex terbata-bata.

“Bisa ceritakan detail nya?”

“Pertama aku membangunkan Pak Usman untuk mengunci gerbang, terus datang Pak Risto ke post, setelah itu aku pergi kedalam, ada Kak Ryan sama Kak Cella, dan tidak sengaja Alex mendengar obrolan mereka Pak.”

“Apa yang mereka obrolkan ?” Saga sedikit mendekat ke Alex.

Alex mencoba mengingat “Tidak paham sih maksudnya, tapi intinya kak Cella tidak enak kalau dibantu terus, terus kata terakhir kak Ryan adalah... biar..aku yang pikirkan caranya. Itu saja sih yang Alex ingat.”

“Lalu?”

“Pergi kekamar dan tidur.”

“Eh Pak…kira-kira menurut Bapak, maksud obrolan mereka apa ya?” Alex balik bertanya.

Saga menggelengkan kepala.

“Oke Alex, tolong sekarang panggilkan Cella.”

Alex memanggil Cella dari kejauhan dengan melambaikan tangannya. “Kak Cella sini.”

Cella berdiri lalu berjalan menuju Saga dan Alex. Cella duduk di kursi sebelah Alex.

“Alex boleh tinggalkan kami !” Saga meminta Alex.

“Iya Pak.” Alex berdiri dan pergi.

Cella duduk berhadapan dengan Saga, Cella di kursi setelah Alex.

“Apa yang Anda bicarakan sama Ryan diruang tengah sebelum Anda akan diantar pulang?” Saga langsung menodong Cella.

“Oh itu, tentang masalah saya di kampus.” jawab Cella dengan santai.

“Kalau boleh saya tahu, Kenapa ?”

“Saya nunggak Pak, dan Ryan coba bantu saya, tapi saya menolak karena kondisinya.”

Lihat selengkapnya