Keesokan Harinya. Di Kampus Cella. Cella duduk di kursi sedang menulis di buku, dikelilingi mahasiswa lain. suasana di kelas hening karena sedang belajar. Cella melirik kearah jendela kelas dari kejauhan Cella melihat seorang laki-laki melambaikan tangan dengan senyum tipis nya, kemudian seorang dosen muncul dari arah pintu luar.
“Marcella Husen.” Kata Dosen.
“Iya Pak.”
“Ada seseorang yang ingin bertemu anda.”
Cella mengangguk.
Sebuah pintu bertuliskan “Program Studi Psikologi”, di sampingnya Saga duduk bersebelahan dengan Cella, sama sama mengisap rokok dan berbincang.
Rumah Saga.
Saga turun dari mobil, berjalan menuju rumah, sambil melihat selembar kertas yang dipegangnya. Saga masuk rumah kemudian langkahnya terhenti ketika mendengar suara jendela terbuka sedikit karena tertiup angin, Saga menyadari kalau ada seseorang masuk kedalam rumah nya. Kepala Saga terus berputar, mata nya melirik begitu cepat.
Tiba tiba dari belakang seseorang datang untuk memukul dengan besi, namun saga sigap menghindar, dan Saga berhasil memukul balik Orang tersebut. Orang itu jatuh, tapi bergegas berdiri, berlari, dan loncat melewati jendela.
Saga mengeluarkan pistol mencoba menembaknya namun meleset. Langkahnya terhenti ketika menginjak sesuatu dan itu adalah cinderamata. Terlihat cinderamata berupa jepit khas Bali yang sedikit patah karena terinjak olehnya. Saga berlutut memperhatikan cenderamata tersebut, kemudian Saga tersenyum tipis ketika melihat cat warna merah tumpah di rumahnya.
Setelah suasana nya aman, Saga berdiri dan menuju kursi, duduk lalu kembali meneliti selembaran kertas yang dipegangnya tadi dan menaruh cenderamata tersebut di sebelahnya.
Beberapa jam kemudian, Saga tiba di rumah Keluarga Samudera. Saga menghampiri Risto yang tengah duduk di pos.
“Pak Risto,” sapa Saga.
“Eh Pak Saga.”
“Boleh saya bertanya sebentar?”
“Oh boleh Pak dengan senang hati.”
“Apa Anda bisa melukis ?”
Risto tertawa, “Hahaha pertanyaan apa itu Pak… lucu haha.”
“Haha... Pak Risto tinggal jawab saja.” Saga menatap tajam Risto.
“Bapak ini lucu ya, kirain apa pertanyaannya.” Risto sedikit tertawa.
Saga mendekatkan wajahnya ke wajah Risto. “Tolong dijawab saja” Saga menekankan.
Risto mulai sedikit serius. ”Harus dijawab ya, ehmm nggak bisa Pak.”
“Nggak bisa. Tapi Anda memberikan kado ke Usman berupa lukisan, yang katanya Anda yang lukis sendiri.”
Risto sedikit menganga dan menjauhkan wajahnya dari Saga. “Euh...oh itu saya so- so an aja ke Usman, sok-sokan bisa.”
“Jadi lukisan itu bukan Anda yang buat?, jadi siapa yang buat lukisan itu?”
“Euuu...saya itu beli Pak, iya beli.”
“Beli ya, terus…”
Obrolan Saga terhenti karena terdengar sesuatu pecah dan teriakan orang adu mulut dari dalam rumah. Saga bergegas kedalam rumah, Risto mengikuti dari belakang.
Saga berlari menuju Alex dan Ryan yang sedang adu mulut, saling tunjuk, dibawah pecahan kaca gelas berserakan. Disana juga ada Opie, Aries, Nadine, Baron, dan Inah.
“Loh, Dek jangan nuduh sembarangan ya.”
Saga tiba. “Ada apa ini?”
“Ini Pak tangkap si Ryan, dia yang telah ngebunuh Mamah,” Alex sambil menodongkan ballpoint ke wajah Ryan.
“Iya iya kamu tenang dulu, coba buktikan.” Tanya Ryan ke Alex.
Semua orang dalam rumah tegang.
“Saya menemukan pisau yang masih ada darah nya serta topeng di laci nya Ryan.” Ungkap Alex.
“Pak saya bisa jelaskan Pak.” kata Ryan ke Saga sambil menenangkan adiknya.
“Udah tangkap saja dia Pak” Alex keukeuh.
“Lo diem ya bocah!” Ryan mulai emosi.
“Okey okey tenang tenang, saya minta tenang, Alex bisa saya lihat buktinya.” Kata Saga.
Tangan kiri Alex pelan -pelan mengeluarkan ponselnya. “Ini Pak saya rekam semuanya disini.”
Alex memperlihatkan hasil rekaman videonya ke Saga, lalu Alex mengangkat tangannya menunjukan video kesemua orang yang ada di rumah. Opie mengerutkan dahi, Nadine bingung.
Aries tanya Ryan. “Lo jelaskan kenapa? Ada pisau sama topeng di laci lo!”
“Itu property Ries, property shooting.” Jawab Ryan.
“Lo jangan bohong!, property shooting kenapa ada di elo.” Tegas Aries.
“Ya karena gue bawa ke rumah.”
Alex terus menyudutkan Ryan. “Gue juga tahu, gue nggak bodoh, property shooting itu pasti dibawa sama tim produksi nya, nggak mungkin sama talen nya, terus saya dengar obrolan Ryan ditelepon Pak, dia ngebahas tentang uang.”
“Kok lo tau?” tanya Ryan.
“Waktu lo nelepon, gue ada dibawah ranjang lo, dan gue denger semua pembicaraan lo” Ungap Alex.
“Lo masuk kamar gue, hah?!...Gue itu telepon Cella, terus gue nelpon temen gue, nagih hutang ke dia, karena gue lagi butuh uang cepat untuk bantu Cella.” Jelaskan Ryan.
“Aktor memang pandai berakting,” Alex tertawa tipis.
“Maksud lo apa?” Ryan mulai emosi.
Nadine ikut bicara, mencoba membuat suasana jadi kondusif. “De, Kak Aries, jangan asal nuduh gitu kalau belum ada buktinya.”
“Itu di video.” Alex menunjuk rekamannya.
“Kenapa? Lo bela dia hah !” Aries membentak Nadine.
“Aku nggak bela Kak Ryan, kita jangan asal nuduh kalau belum ada bukti yang kuat, terus Kakak nggak kasihan apa sama Mamah dan Papah, kalau tau anak - anaknya pada berantem.” Jawab Nadine.
"Heuh, haha... kasihan lo bilang?! Lo kemana aja dulu, waktu elo ninggalin kita demi cowok itu,“ Aries menunjuk Baron.
“Elo lawan semua keluarga lo, lo tau kagak hah? Mamah nangis tiap hari karena mikirin lo, Papah sedih karena merasa sudah tidak dianggap lagi sama elo, itu yang namanya kasihan hah!” Kata Aries.