Pagi itu, mentari terhalang awan gemawan pekat yang memuramkan angkasa. Dalam sekejap, uap air yang dikandung mendung berkondensasi menjadi bulir-bulir yang karena gravitasi jatuh melayang ke bumi.
Gerimis semakin deras ketika orang-orang di sepanjang jalan kampus mempercepat langkah. Sebagian berlindung di halte depan masjid kampus. Sebagian lagi masuk ke warung-warung kopi yang baru buka di pinggir jalan. Penjaja aneka jajanan dan minuman ringan di trotoar terburu-buru mendorong gerobak dagangan.
Hanif mempercepat laju sepeda motornya. Bukan hanya karena hujan mulai deras tapi juga sebab kelas Geometri Ruang yang beberapa menit lagi dimulai. Mata kuliah 2 SKS ini seharusnya cukup mengasyikkan sebab mahasiswa diajak mengaktifkan imaji. Misalnya, ketika mencari bukti dua diagonal ruang kubus saling tegak lurus. Sudut sembilan puluh derajat itu tidak kasatmata ketika digambarkan di papan tulis. Hanya mata khayali yang bisa menangkap kesikuan itu. Sayangnya, keseruan bermain dengan imajinasi seperti itu tak bisa dinikmati mahasiswa. Pak Muzar yang kaku dan jarang senyum plus superdisiplin sukses mengubah kelas menjadi bioskop film horor malam Jumat Kliwon.
Hanif tiba di pelataran parkir belakang kampus yang tak terlalu luas. Di atas susunan paving block, motor-motor berderet rapi seakan pasrah menerima guyuran hujan.
Saat Hanif memarkirkan kendaraannya, Ijul yang sedang merapikan posisi motor seorang mahasiswi yang memarkir serampangan—mungkin takut kehujanan—menyapanya.
“Buru-buru amat, Nif?” Juru parkir kurus jangkung itu agak berteriak karena jarak mereka cukup jauh.
“Iya, Bang. Takut telat.”
“Militer?”
Hanif melontar senyum sepersekian detik sambil berlari kecil ke arah lobi. Hujan kian deras.
Militer adalah julukan mahasiswa untuk Pak Muzar. Gelar itu sudah sangat familiar di kampus sampai-sampai juru parkir saja tahu. Pak Muzar adalah dosen dengan kedisiplinan tingkat tinggi. Jika dirating dengan skala 10, Pak Muzar layak diberi nilai 11. Konon yang terlambat menghadiri kelasnya meski hanya dalam hitungan detik mendapat kabar baik dan kabar buruk sekaligus; tausiah gratis bertema kedisiplinan dan tanda silang di daftar presensi.
Meski gelar “militer” sudah dihafal di luar kepala oleh semua mahasiswa jurusan hingga juru parkir, Hanif menghindari penggunaan julukan itu. Dia khawatir ada potensi gibah. Lagi pula, tak beradab pastinya seorang murid memberi gelar aneh kepada guru. Hanif tahu “militer” itu bukanlah pujian tapi lebih ke sindiran. Karena itu, Hanif merespon basa-basi Ijul dengan senyum. Bukan anggukan.
Arloji digital Hanif memampang angka 7.57. Ada waktu tiga menit bila ingin Pak Muzar tak memulai kelas di pagi hujan ini dengan ceramah bertopik “waktu adalah pedang”. Hanif terburu menaiki tangga. Hebatnya—atau sialnya—kelas Geometri Ruang ada di lantai tiga, ruang paling ujung dari tangga!
Pukul 7.58, Hanif sudah ada di lantai tiga. Mungkin itu yang disebut the power of kepepet. Ia mengatur ritme napasnya beberapa detik—ya, beberapa detik saja sebab ia tak punya waktu banyak. Sebagai striker utama tim sepak bola fakultas, tentu itu tak terlalu sulit baginya.
Ketika berbelok ke arah kelas, Hanif hampir saja menabrak seorang perempuan dengan sejumlah buku di tangan yang sedang berbelok ke arah tangga. Kali ini, ia menemukan manfaat latihan lari zig-zag bersama teman-teman bolanya yaitu menghemat waktu. Bayangkan saja jika ia menubruk perempuan dengan sejumlah buku di tangan! Perempuan itu terjatuh, buku di tangannya berserakan, Hanif membantu memungut buku, keduanya saling berpandangan, dan Hanif batal masuk kelas pagi. Aih, sinetronis sekali!
“Maaf, Kak.” Hanif terus berlari tanpa menoleh.
Perempuan yang dipanggil Kak itu keheranan. Haura namanya, baru kali ini melihat Hanif begitu buru-buru. Setahunya, adik kelasnya itu tak pernah seterburu itu.
Sementara Hanif terus berlari ke kelas paling ujung. Pukul 7 lewat 59 menit dan 24 detik, ia memegang handel pintu, menarik napas panjang tiga kali lagi untuk menormalkan napasnya yang ngos-ngosan. Ia membuka pintu kelas.
“Assalamualaikum.”
Seisi kelas menatap ke arahnya, tak terkecuali si dosen killer yang selalu datang lima menit sebelum kelas dimulai. Suasana hening beberapa detik. Pak Muzar melihat jam di tangannya. Hanif menanti keputusan dengan jantung yang serasa beduk ditabuh di malam takbiran. Bisa saja jam dosennya lebih cepat semenit dari jam tangannya.
“Silakan masuk.” Suara itu terdengar kaku dan dingin sedingin hujan yang kian deras di luar.
Seisi kelas menarik napas lega. Tausiah prakuliah urung berlangsung di pagi itu.
***
“Tadi pagi tumben telat?” selidik Haura ketika mereka duduk semeja berhadap-hadapan di kantin jelang siang. Kantin sedang ramai-ramainya.
Hanif kikuk. “Tadi sebelum ke kampus ada urusan yang harus segera diselesaikan, Kak.”
“Oh begitu. Lain kali, jangan seperti itu. Masa iya, ketua HMJ[1] yang seharusnya jadi panutan malah terlambat masuk kelas?” sindir Haura.
Hanif menyungging senyum tipis tapi juga menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kekikukannya tertutupi dengan pelayan kantin yang mengantarkan pesanan mereka: segelas teh hijau dan jus jeruk.
“Ini berkas proposal bakti sosial akhir semester. Coba diperiksa dulu.” Haura mengeluarkan map biru dari dalam tas punggungnya yang merah muda.
Hanif mengambil map, membolak-balik halaman proposal yang ada di dalamnya setelah meneguk teh hijau dingin pesanannya.
“Dana transportasi apa sudah dicek sebesar ini? BBM sudah naik lagi, lho,” katanya kemudian.