Syariat Cinta

YF Rijal
Chapter #2

Gadis Tionghoa Itu

Seusai kelas, seorang perempuan malu-malu mendekati kursi lipat Hanif dari belakang. Setelah cukup dekat, ia malah ragu-ragu untuk berbicara. Di belakang sana, temannya sampai terheran-heran. Baru ketika Hanif selesai merapikan buku dan hendak berdiri, ia bersuara.

“Sebentar, Nif.”

Hanif kaget ada yang memanggilnya dari jarak yang cukup dekat. Ia menoleh. Lebih kaget lagi karena yang memanggilnya adalah orang yang jarang sekali berbicara dengannya.

“Ada apa, Syakira?”

Syakira yang memang tak cukup siap memulai bicara kini malah salah tingkah. Ia menunduk ketika mengutarakan keinginannya.

“Mau pinjam hasil ulangan kemarin, boleh?”

Hanif lega. Semula ia berpikir ada hal sangat penting yang ingin disampaikan gadis asal Takengon itu. Sebab itu akan butuh waktu tak sedikit sementara ia harus menemui Haura delapan menit lagi di kantin. Bisa gawat jika ia datang terlambat sebab Haura tak jauh beda dengan bapaknya, Pak Muzar, sang dosen “militer”.

“Oh, pasti.”

Hanif membuka kembali ritsleting tas ranselnya dan merogohnya. Sejurus kemudian tangannya mengeluarkan sehelai kertas folio ganda bergaris.

“Belajar yang rajin. Semoga ujian remedial cukup sekali.”

Ketika berbicara serius, wibawa Hanif terlihat kentara sekali. Seolah seorang ayah yang sedang menasihati anaknya.

Pipi gadis itu bersemu merah seperti warna jilbabnya. Tentu tampak sangat jelas sebab Syakira, seperti kebanyakan gadis Takengon lainnya, berkulit putih bersih. Ia menunduk lagi setelah mengambil kertas itu dari tangan Hanif.

“Itu saja?” goda Hanif ketika Syakira hanya terdiam. Ia tersenyum melihat perubahan di pipi gadis itu.

“Nanti kalau ada yang tak dipahami, boleh ditanyakan?” tanya Syakira, masih menunduk.

Untuk sesaat, Hanif terkesima. Gadis ini santun sekali. Lazimnya orang-orang menggunakan diksi “aku tak paham” dan “boleh kutanya” untuk teman sebaya tapi Syakira tidak.

“Pasti.”

“Kalau begitu...” Syakira kembali ragu-ragu, butuh beberapa detik untuk meneruskan kalimatnya, “boleh minta nomor HP?”

Hanif yang menginginkan pembicaraan itu cepat berakhir menjawab dengan senyuman. Kemudian dia mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. Kartu nama itu adalah sisa bahan kampanye sewaktu ia mencalonkan diri sebagai ketua himpunan. Ia memberikannya kepada Syakira. Jam digital di tangannya menunjukkan angka 11.05. Lima menit lagi.

“Ini nomor hape saya. Jangan telepon tengah malam.” Entah mengapa, meski sedang terburu-buru muncul niat isengnya lagi untuk mencandai Syakira.

Seperti tebakan Hanif, pipi gadis Gayo itu kembali bersemu merah tapi ia senang sekali diberi kartu nama. Ia merasa diperlakukan istimewa. Syakira hanya tak tahu bahwa Hanif melakukan itu untuk menghemat waktu. Bisa butuh beberapa detik bahkan menit jika Hanif mendiktekan nomor HP-nya sebab kebiasaan menyebutkan sederet angka tidak cukup sekali. Mesti ada pengulangan agar tidak ada angka yang salah tulis.

Hanif bergegas meninggalkan ruang kuliah. Lumayan tergesa dia menuruni tangga gedung tiga lantai beratap biru itu. Setelah itu, Hanif menuju ke kantin. Dari kejauhan ia bisa melihat Haura dan seorang temannya sedang mengobrol di salah satu meja. Hanif lega. Kakak kelasnya itu menyanggupi permintaannya agar tak datang sendirian.

Sementara di dalam kelas, Syakira tak dapat menyembunyikan kegirangannya.

“Bagi nomornya, dong,” goda teman-temannya yang sedari tadi memperhatikan Syakira dan Hanif.

Gadis itu hanya tersenyum. Seolah ia tak mendengar apa-apa. Kartu nama itu telah menerbangkannya ke kayangan.

***

“Bagaimana, apa sudah diperbaiki?” tanya Hanif kepada Haura di meja kantin. Ketua PSDM-nya duduk ditemani seorang perempuan sebaya berparas Tionghoa. Hanif tak pernah melihat perempuan itu sebelumnya.

“Sudah,” jawab Haura sembari meletakkan dua berkas proposal di atas meja, satu berkas hasil koreksi kemarin dan satu lagi berkas perbaikan, “ini juga ada salah hitung di kebutuhan konsumsi selama kegiatan. Juga, kami lupa memasukkan kebutuhan hadiah lomba untuk anak-anak selama di sana.”

Tiga perbaikan itu dilingkari di proposal lama oleh Haura untuk memudahkan Hanif melihat perbedaannya. Setelah mengecek bagian lain dan berdiskusi sejenak dengan Haura, Hanif menandatangani proposal itu. Tugas Haura selanjutnya adalah meminta persetujuan dari ketua prodi[1] dan pembantu dekan bidang kemahasiswaan.

“Nif, kakak minta maaf soal kemarin. Kamu juga tak menjelaskan urusan penting apa yang harus segera diselesaikan itu.” Haura mengalihkan topik pembicaraan setelah urusan proposal selesai.

It’s okay, kok, Kak.”

Betewe[2], bagaimana ceritanya kamu berhasil meredam emosi warga?”

Hanif menceritakan kronologi peristiwa mendebarkan yang dialaminya. Termasuk keputusannya mengambil paksa korek api dari tangan si laki-laki pendek. Semua itu ia lakukan atas satu pertimbangan penting yaitu tidak ingin wajah penerapan syariat Islam menjadi beringas di mata orang luar hanya karena amarah sesaat. Kalau sudah begitu, Islam tidak lagi hadir sebagai agama penuh damai.

Sepanjang mendengarkan cerita, wajah Haura dan temannya tegang.

“Kakak salut. Kamu nekat sekali. Padahal risikonya besar.”

Temannya itu mengangguk setuju.

“Yang paling penting, saya bersyukur sekali kemarin tidak terlambat masuk kelas.”

“Jadi kamu tidak terlambat?” Haura kaget.

Lihat selengkapnya