Namanya Syakira. Tak banyak yang tahu ada perubahan besar dalam diri Syakira beberapa bulan belakangan. Gadis itu sangat pemalu. Dia jarang sekali terlihat berbicara dengan lelaki. Apalagi bercanda. Syakira terlihat berbeda dari teman gengnya yang sering heboh kalau berkumpul. Kalau kelas sedang berlangsung, keadaan malah berbalik. Dia yang aktif dan teman-temannya diam.
Syakira juga banyak berubah dalam berpakaian. Dulu di awal-awal kuliah, dia sering bercelana jin dan jilbab tipis seadanya. Setelah empat semester berlalu, ia tak pernah lagi terlihat mengenakan pakaian seperti itu. Perempuan Gayo itu lebih sering memakai gamis dipadukan dengan jilbab lebar.
Hanif mengenal Syakira di hari-hari pertama perkuliahan, tepatnya di pekan orientasi. Secara tak langsung, Syakiralah yang menyelamatkan Hanif dari amukan mentor ospek. Para mentor ini dipilih oleh pengurus HMJ, kebanyakan karena senioritas bukan kemampuan mementori. Aturan tak tertulis yang turun-temurun dari pengurus ke pengurus: mahasiswa tahun terakhir yang jago membentak dan pasang tampang sangar layak menjadi mentor ospek anak baru.
Waktu itu, Hanif dihukum panitia karena tak lengkap membawa peralatan yang diperintahkan. Hanif sebenarnya sengaja tidak melengkapi peralatan ospek sebagai perlawanannya terhadap konsep kegiatan yang tak mendidik. Ia lebih memilih dihukum daripada harus mencari sepasang kaus kaki beda warna, kalung yang dirangkai dari permen beragam merek, topi karton merah muda berbentuk prisma dan kresek merah ukuran besar, yang semua itu tidak ada hubungannya dengan pengenalan kampus.
Sesuai perkiraannya, Hanif disanksi berdiri menghormat bendera di tengah lapangan yang terik setelah panitia mengecek kelengkapan peralatan seluruh mahasiswa baru. Anak-anak lain duduk berbaris menonton dari tempat teduh.
Lima menit berlalu.
Sepuluh menit berlalu.
Hanif tak terlihat kepayahan sedikit pun. Para mentor itu tak tahu junior yang sedang mereka hukum adalah atlet sepak bola sejak SMP, tiga kali terpilih menjadi striker utama kabupaten dalam Pekan Olahraga Pelajar di provinsi. Agaknya mereka malas membaca biodata peserta hingga memberikan hukuman yang terlampau ringan.
Sudahlah tak punya kompetensi menjadi mentor, malas membaca pula. Pantas kualitas ospek tak pernah membaik dari tahun ke tahun!
Sebab Hanif tak mengeluh atau jatuh pingsan di tengah lapangan, para mentor hilang kesabaran. Mereka mulai menambah hukuman. Semua yang pernah mengikuti ospek pasti tahu tingkatan-tingkatan hukuman.
Majulah mentor satu per satu dengan lagak petentengan ke tengah lapangan. Secara bergantian mereka membentak dan mengejek Hanif. Sial bagi para mentor, anak baru yang sedang dihukum itu masih mematung. Sudah lima mentor yang mendekati dan membentak Hanif, anak itu tak bereaksi sedikitpun. Itu memang caranya agar para mentor cepat bosan.
Mentor keenam mendekati. Posturnya tinggi besar seperti Hanif, tak seperti mentor-mentor sebelumnya yang lebih pendek. Sepertinya ia mentor yang paling ditakuti karena mendapat jatah paling akhir. Ia mulai membentak. Suaranya lumayan keras.
“Baru masuk sudah bikin ulah kau, ya. Niat kuliah tidak?”
Hanif bergeming. Itu cukup membuat seniornya kesal.
“Wajah kau kenapa datar begitu? Nggak senang kau sama aku?” telunjuk sang senior disorong-sorong ke depan mata Hanif. Anak itu tetap tak bersuara.
Kekesalan si mentor bertambah-tambah. Jelas ia seperti yang lainnya, gagal membuat nyali mahasiswa baru itu ciut.
Mungkin lantaran geram dengan sikap Hanif yang diam mematung tanpa respon atau mungkin karena memang ingin unjuk hebat di depan mahasiswi baru—ini alasan paling kuat kenapa mahasiswa senior berlomba-lomba menjadi mentor—dicengkeramnya kedua ujung kerah baju putih Hanif.
“Kau mau jadi pembangkang, ya?” hardiknya petentengan,lima senti di depan muka Hanif. Matanya melotot sejadi-jadinya.
Hanif masih diam tapi darahnya mulai menggelegak. Ia tak tahan dilecehkan seperti itu di keramaian.
“Jawab!!”
Hanif masih diam.
“Pekak kau, ya?”
Masih diam.
“Adek-adek, kawan kalian ini pekak rupanya.” Mentor paling senior itu melepaskan jemarinya dari kerah baju Hanif. Sejujurnya dia sudah mati gaya menghadapi Hanif yang laksana Patung Jenderal Sudirman di Jakarta.
Ia berjalan pelan menjauhi Hanif tapi sekonyong-konyong berbalik dan melayangkan kepalan tinju ke perut Hanif. Anak baru itu terhuyung-huyung sementara mentornya tertawa puas. Para mahasiswi baru yang menonton mulai menjerit-jerit. Panitia lekas mengancam siapapun yang bersuara setelah itu akan dikenakan hukuman.
Sementara di tengah lapangan, pukulan tinju itu tak hanya menumbuk perut Hanif tapi juga meruntuhkan dinding kesabarannya. Ia bisa bertahan kalau cuma caci-maki. Tapi main fisik adalah perkara yang keterlaluan.
Tanpa pikir panjang, Hanif maju dan mencengkeram kerah baju seniornya.
“Kau bisa tak usah main tangan?”
Abang senior itu panik, tak menyangka mahasiswa baru yang baru saja dibentaknya kini sedang mencekik lehernya. Tapi ia berusaha untuk tak terlihat tegang. Teman-temannya yang hendak membantu ditahannya.
“Adek-adek, lihat temanmu ini tak terima diberi hukuman. Padahal Abang selama ini selalu ikhlas kalau memberi,” katanya mencoba melucu.