Hari pertama
Kamar Syema seperti ruang angker, tanpa lampu menyala, tanpa suara, mata terbelalak hingga fajar menyingsing. Deraian air mata yang tak kunjung usai membasahi bantal. Berselimutkan kegelapan. Bukan hanya ruang itu yang gelap, hati terpukul kian menggelap, tidak ada tempat untuk bersandar. Hanya kekacauan yang menjadi teman kekalutan. Lara yang bergejolak mematri sendu dalam pikiran yang tak kunjung henti.
Hari ke-dua
Matahari sudah menyingsing, cahayanya menembus celah tirai jendela kamar Syema. Ia masih tertidur karena lelah semalaman meratap untuk hal yang tidak perlu diratapi. Ibu mengetok pintu berkali-kali hingga suara sengau Syema terdengar ibu dari celah pintu. Ibu terisak karena harus menyaksikan Syema terpukul dalam seperti itu.
“Syem, keluarlah, bicara sama ibu. Jangan tanggung sendiri masalahmu”
Syema setengah sadar mendengar perkataan ibu.
“Kalau kau tak mau keluar, bagaimana bisa ibu membantumu. Jawab ibu, Syem! Setidaknya kasih kode kalau kau masih ada di dalam”
Syema terbatuk ringan untuk memberikan isyarat kepada ibu bahwa Syema mendengar apa yang ibu katakan barusan.
“Kalau kau tak mau bicara sama ibu tak apa, tapi makanlah dulu. Ibu sudah letakkan makananmu di depan pintu”
Suara gerakan peristaltik perut mulai Syema rasakan, perutnya ikut keroncongan akibat tangis berkepanjangan. Rasa laparnya masih bisa ia tahan. Syema ingin menyakralkan situasinya saat ini tanpa ada gangguan dari luar, seakan dia sedang bersemedi untuk mencari ketenangan. Hingga jam menunjukkan pukul lima sore, Syema masih menahan rasa laparnya.
Ibu kembali mengetok pintu kamar Syema, “Syem, apa masih segitunya? Ibu takut kalau kamu sakit. Syem ... Syema”
Ibu menggerakkan gagang pintu naik turun dan mendorong badannya berkali-kali seakan ibu ingin mendobrak pintu kamar Syema.
“Syema masih hidup, Bu”
“Ambil makananmu sekarang, kalau tidak kau bisa pingsan. Kalau sampai nanti kau tidak mengambil makanan dan minumanmu, ibu akan dobrak pintu ini”
Ahhh, suara desahan nafas Syema sangat dalam. Bibirnya kering kerontang karena sudah satu harian tidak minum. Ia pun tidak buang air kecil dari tadi malam. Ia memutuskan untuk mengambil makanan dan minuman yang diletakkan ibu di depan pintu kamar. Syema tidak bisa menikmati makanan itu, hanya tiga suap yang bisa masuk. Namun Syema kehausan hingga air satu teko berisi dua liter hampir habis ia minum.
Hari ke-tiga
Syema meluapkan perasaannya dengan berkaca dan berbicara di depan cermin, “Apa salah ku, Ki? Apa? Teganya kau berbuat ini padaku, aku sudah menjadi seperti yang kau mau. Kurang apa lagi? Jiwa dan raga ini sudah kuberikan segalanya untukmu, namun teganya kau berbuat begitu padaku, Ki. Laki-laki macam apa kau ini, mengapa aku bisa mempercayaimu?”
“Syem, makananmu di depan pintu ya”
“Hmmm”
Syema masih belum mau membuka tirai kamar, dia membiarkan dirinya diselimuti kegelapan hingga malam menjelang. Ia merasa bahwa kegelapan adalah sahabatnya untuk saat ini.
Hari ke-empat
Tirai masih tertutup, kamar sudah bau pengap karena sudah beberapa hari tidak mendapatkan suplai oksigen dari luar atau sekedar udara bersikulasi di dalam kamar. Syema mengetuk papan tempat tidur berulang-ulang sambil bersenandung. Tiba-tiba Syema bagkit dari tempat tidur untuk segera menyalakan radio. Ada acara khusus untuk cerita perempuan hari ini. Syema mendengarkan radio sambil berbaring.
Dari luar ibu menyendengkan telinganya, ibu mendesis lega, “Syukurlah”
Suara penyiar itu sungguh meneduhkan. Kisah yang disampaikan oleh penyiar itu mengenai seorang perempuan yang ditinggal mati oleh kekasihnya yang sudah menjalin hubungan 10 tahun. Mereka sudah berencana untuk menikah dalam dua minggu. Malangnya si laki-laki meninggal karena sakit parah yang diderita. Si perempuan tahu bahwa si laki-laki menderita namun ia tetap menerima lamaran si laki-laki. Bahkan yang membuat terenyuh adalah saat perempuan mengatakan cinta abadi bukan dalam raga yang sedang berdiri tegak, namun dalam roh terdalam yang tidak akan bisa dihapus oleh waktu karena kematian. Mendengar kisah itu Syema kembali menangis sejadi-jadinya, dia menangis bukan karena meratapi kisah itu, melainkan meratapi kenapa ada cinta sejati seperti itu. Beruntungnya mereka meski terpisah raga, namun cinta abadi dibawa sampai ajal menjemput. Raga hanya tempat sementara cinta berlabuh, namun jiwa yang meninggalkan raga akan kembali mendapatkan cinta di kehidupan selanjutnya. Itupun harus dengan orang yang sama, kalau pun Tuhan berkendak. Cinta yang sempurna.