SYEMA WEGARI

Elisabeth Purba
Chapter #4

Motivator

Hingga pada suatu malam, Syema kembali mendengarkan radio yang bertajuk ‘bangkit dari keterpurukan’. Wawancara di radio itu menghadirkan seorang motivator yang memberikan tips agar bisa keluar dari ratapan, kekecewaan akibat patah hati.

-         Menangislah

Ahhh, sudah lelah mata ini menangis, air mata sudah kering, tidak sanggup lagi untuk meneteskan airnya di pipi.

-         Ceritakan kesedihan kamu kepada orang terdekat

Ini dia yang belum dilakukan, Syema hanya mengurung diri di kamar tanpa komunikasi apapun sama ibu

-         Gantilah barang-barang  yang mengingatkanmu kepadanya

Boleh juga nih dicoba

-         Potonglah rambutmu

Hmmm ... akan dipikirkan

“Haa, lumayan membantu solusi dari motivator ini. Aku harap aku bisa lolos untuk bangkit dari hal buruk yang menimpaku ini.” Tukas Syema pelan memeluk radio erat di dadanya.

Syema berdiri di depan cermin dan mengeluarkan luapan isi hatinya dengan sangat panjang. Aku tidak mau berlama-lama lagi membuang waktuku hanya menyesali keberadaanku waktu itu. Semua sudah cukup, cukup dan cukup. Tidak akan ada lagi patah hati. Ini yang terakhir. Bangkitlah, Syem. Airmatamu tidak layak untuk menangisi seorang pecundang yang membuatmu menjadi terpuruk seperti ini. Hibur dirimu. Mulailah menata kembali hidupmu yang sempat hilang beberapa waktu yang lalu. Ini cuma sementara. Besok-besok mereka sudah lupa dengan apa yang sudah terjadi padamu. Lagian, untuk apa memikirkan perkataan orang lain, apa mereka bisa merasakan seperti apa yang kau rasakan, jawabannya tidak. Ini hidupmu, kau harus berjuang demi hidupmu. Anggap kejadian waktu itu sebagai kesilapan untuk membuatmu lebih memaknai hidup. Toh, ini bukan salahmu, tapi salah dia. Kenapa jadi dirimu yang harus terpuruk? Justru itu, kalaulah aku yang macam-macam mungkin aku tidak seburuk ini.

Lihat dirimu, kerjamu hanya makan selama mengurung diri. Perutmu sudah timbul timbunan lemak. Semua sudah tampak buruk. Kau hanya menghabiskan waktu hanya menonton, mendengarkan radio, makan dan nonton lagi sepanjang malam, hingga kau tidak pernah tidur saat malam tiba. Makanan tak sehat itu menjadi temanmu sepanjang hari. Minum minuman dingin, bersoda yang tinggi gula menjadi pelampiasan yang membabi buta. Kau membuat dirimu melebur dalam kebodohan yang sengaja kau buat sendiri. Bahkan kau tidak pernah membersihkan dirimu, gigimu tak pernah kau sikat, bajumu tak pernah kau ganti, rambutmu kusut tak disisir. Aroma kamarmu bau. Sinar matahari tidak pernah singgah di kamar, sarung bantal tak dicuci, sprei penuh bercak minuman berkarbonasi. Toilet di kamarmu pun bau pesing dan menguning. Lemari pakaian berantakan, hingga semuanya kusut. Lantai kamar berdebu, berpasir dan lengket. Kertas-kertas berhamburan di lantai. Sampah makanan menggunung di pojok kamar hingga kecoak berkeliaran di kamar tanpa kau hiraukan. Kamar ini benar-benar payah. Orang gila saja tidak sanggup untuk tinggal di kamar yang luar biasa kotor dan berantakan seperti itu. Sebelumnya kau tidak begini, ada satu kecoak yang berkeliaran di rumah langsung kau singkirkan dengan semprotan serangga. Apa lagi, Syem? Apakah sebegitu menderitanya dirimu?

Kering sudah airmata ini meratap kebodohan dan kecintaanku yang terdalam. Apalah salahnya waktu itu aku sedikit bermain mata dengan laki-laki lain, mungkin tidak akan begini jadinya. Entah untuk apa aku setia, entah untuk apa aku hanya diperdaya mulut manisnya yang begitu membuatku rapuh tanpa ada sedikitpun rasa bersalah yang ia rasakan. Aku ingin menenggelamkan kepala ini hingga kulitku mengelupas dari wajahku. Air perlahan masuk ke dalam otakku untuk mencuci semua memori tentangmu yang masih tersisa. Apa mungkin aku bisa mengikis guratan pahit di otakku agar sirna nama dan wajahnya yang membuatku jadi tolol tak ketulungan. Kalaupun aku tidak bisa mengikis ingatan itu, setidaknya aku bisa mengangkat kepalaku untuk melihat wajah-wajah tetangga, ibuku, teman-teman kerjaku. Meski kepalaku tegak, masih sulit rasanya untuk saling tatap. Aku belum bisa menyembunyikan kebuntunganku, air mata ini masih saja mengucur deras. Kalaulah bisa aku memakai topeng untuk keluar rumah agar tidak ada pandangan dari orang-orang sekitar, setidaknya ini membuatku lega. Tapi sampai kapan aku harus menyudutkan diriku dalam kepedihan ini.

Lihat selengkapnya