Hari pertama kerja
Tidak ada yang berubah selama sebulan aku (tepatnya ibuku) meminta cuti untuk pemulihan. Aku rindu berada di tempat ini. Tempat ini mengajarkan banyak hal kepadaku hingga aku menjadi seorang konselor yang cukup dikenal banyak orang. Pekerjaan ini juga membuatku banyak membantu para perempuan untuk keluar dari masalahnya. Pekerjaan ini juga yang membuatku paham akan peran besar seorang perempuan dalam rumah tangga. Meski terkadang banyak hal yang membuatku marah, kecewa dengan keputusan-keputusan bosku yang terkadang bertolak belakang dengan pendirianku. Atasanku begitu otoriter, sehinga semua keputusannya adalah sebuah kebenaran mutlak, namun itu bisa kukesampingkan. Hasratku yang tinggi untuk membantu orang banyak menjadi tujuan utama. Tidak bisa kupungkiri, aku ingin sekali membuka sebuah jasa konseling untuk membantu orang-orang keluar dari masalah berat, membantu mereka menemukan jati diri mereka dengan cara sederhana, menerima hidup mereka tanpa menyalahkan.
Kantor itu berbentuk rumah yang terletak di pinggir jalan besar jalan Jamin Ginting. Halaman luas dengan pagar putih runcing setinggi 1.5 meter menjadi benteng pelindung tempat ini. Papan putih bertuliskan Lembaga Penguatan Perempuan Boru Na Gogo begitu gagah terpampang. Pohon rambutan yang ditumbuhi benalu dengan batang yang besar dan cabang pohon yang banyak membuat tempat ini menjadi teduh bila siang menjelang.
Teras mungil dengan dua kursi bambu dan sebuah meja dengan alas berwarna cokelat dan vas bunga menghiasi meja bambu itu. Ada tiga kamar yang dijadikan ruangan staff. Ruangan Syema dengan Lida, Martha dengan Sarma dan Kak Donta memiliki ruangan tersendiri. Ada Reading Corner dengan beraneka ragam buku yang tersusun rapi di lemari kaca transparan, menjadi spot baik untuk tamu yang sedang menunggu. Ruang tamu yang luas diberi sekat sehingga ruang tamu tampak menjadi dua bagian. Satu bagian paling depan menjadi ruang untuk menyambut tamu yang datang, sementara ruang yang satu lagi untuk tempat diskusi para staff atau tempat yang dijadikan ruang meeting. Ada sebuah komputer pentium yang terletak di sudut ruangan untuk bisa diakses oleh siapapun yang datang.
Ada dua kamar yang disediakan untuk para staff bilamana mereka harus bermalam di kantor karena urusan yang penting. Dan ada dua kamar yang terletak berseberangan dengan dapur untuk rumah singgah (shelter) korban kekerasan. Lahan belakang kantor ini sangat luas hingga ibu penjaga shelter menanam beragam tanaman seperti: ubi jalar, kunyit, sawo, jambu air, lenca.
Syema juga masih bimbang untuk melangkah ke kantor. Sesampainya di sana ia disambut hangat oleh ibu Entina penjaga shelter dengan pelukan erat, “Nak Syema, sudah kembali bekerja. Senang rasanya melihat nak Syema lagi. Kirain tak balik ke sini lagi”
“Aku juga senang kembali bekerja, Bu”
“Apa yakin bisa masuk hari ini, nak Syema?”
“Yakin, Bu. Yang lain mana, Bu?”
“Belum datang, kau datang lebih awal hari ini, Syem. Kau banyak berubah.”
“Begitulah, Bu”
“Sudah lupakan masa lalumu, waktumu masih panjang, nak Syema. Masih banyak laki-laki yang lebih baik”
Syema terdiam mendengarkan apa yang ibu Entina katakan. Ia menggeram dalam hati, bagaimana ibu ini tahu akan hal itu? Apa satu kantor ini sudah tahu bahwa aku tidak akan menikah? Mau diletak di mana mukaku?
“Ibu tahu dari mana kalau aku tidak jadi me ...” tukas Syema terputus.
“Tuh Martha udah datang ... Tadi nak Syema bilang apa?”
“Nggak bu ... nggak jadi ...”
Martha datang dengan suaranya yang merdu melantunkan lagu. Itulah yang menjadi ciri khas Martha, tidak pernah tidak bersenandung. Ia merasa senandung membuat dirinya bersemangat.
“Masih betah dengan senandung yang nggak jelas itu, Mar?” tukas Syema dari ruang kerjanya.
Martha mundur dua langkah dan berdiri mematung menatap Syema yang sedang duduk di ruang kerjanya. Martha mengucek matanya berulang kali kemudian membelalakkan matanya untuk memastikan kalau itu benar Syema.
“Beneran ini kak Syema?”
“Kamu pikir siapa?”
“Beda ... benar-benar beda”
“Bukan cuma kamu yang bilang begitu, Mar. Semua orang yang kujumpai pagi ini mengatakan hal yang sama ‘beda’. Tapi beneran ini tetap Syema yang dulu”
Martha memeluk Syema sambil melompat, “Senangnya melihatmu kembali, kak Syema. Aku rindu berat”
“Ahhh, ngasal”
“Benar, Kak, nggak ada yang seperti kak Syema yang mau bantuin aku. Teman curhatku nggak ada selama kakak tidak masuk kerja”
Dengan antusias Martha menarik kursi untuk duduk di dekat Syema sambil memegang tangan Syema, “Maaf nih, Kak, kalau aku lancang. Tapi beneran aku tak bisa terima kak Syema berubah drastis begini. Kenapa, Kak?”
“Kamu gak senang?”
“Bukan itu ... tapi kak Syema yang kukenal sebelumnya itu tampil rapi, modis, wangi dan menarik perhatian banyak orang. Lah ini...”
“Jangan ngejek, Mar. Kakak nyaman sekarang seperti ini. Inilah kakak yang sebenarnya. Yang dulu itu cuma klise ”
“Tapi, Kak, ga mesti berubah supaya nyaman”
“Kamu benar. Tapi kakak senang dengan penampilan kakak sekarang”
“Aku sedih lho, kak Syem. Rambut kakak yang panjang lurus mengkilap tiba-tiba jadi begini. Padahal aku iri lho lihat kakak tampil cantik sebelumnya. Lah sekarang, aku sepertinya jauh lebih cantik dibanding kakak, ya kan?” tawa Martha lepas.
“Ya, kalau itu tak perlu kamu bilang, kamu naik level sekarang”