Tepat pukul tujuh malam, Jo bersiap untuk datang ke rumah Syema. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan rasa simpatinya karena Syema sedang sakit. Selain itu ia juga ingin meminta maaf untuk ke sekian kalinya karena perkataannya yang keterlaluan. Jo meminta Martha untuk menemaninya. Sepanjang perjalanan, Jo mengorek-ngorek kisah kehidupan Syema. Mengapa Syema bisa berubah sedrastis itu, yang awalnya cantik namun kini dengan rambut potongan seperti itu Syema tampak seperti laki-laki atau lebih tepatnya orang yang patah hati. Dengan polos, Martha menceritakan semua perihal tentang Syema, tentang hubungannya yang kandas hingga Syema mengambil cuti satu bulan. Tujuannya untuk melupakan seorang laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya. Martha juga mengatakan bahwa sebulan sebelum nikah, Syema sudah mencetak undangan, gaun nikah sudah jadi, bahkan sudah pesan souvenir. Namun semua sia-sia.
Mendengar hal itu, Jo terperangah. Jo teringat dengan kata-kata nya yang kemarin. Sungguh tidak pantas ia utarakan itu. Kata-kata perawan tua sudah menusuk hati Syema. Tak mungkin Jo bisa menarik kata-katanya itu, semua sudah terlanjur. Ini kesempatan Jo untuk meminta maaf lagi. Semoga Syema tidak marah. Jo juga bertanya tentang perihal putusnya Syema dengan calon suaminya itu. Namun Martha terdiam sejenak, Martha mengatakan bahwa itu rahasia Syema dengan dirinya.
“Maaf, kalau aku banyak tanya, Mar. Kalau tak mau cerita juga tidak apa-apa, kalau mau cerita lebih baik” Ujarnya memelas. Secara tidak langsung, Jo memaksa Martha untuk terus terang.
“Hmmm ... tapi janji ya, Kak, jangan kasih tahu kak Syema. Ini kita berdua saja yang tahu”
“Ya ... janji”
“Kak Syema diselingkuhi sama pacarnya”
“Ohhh, faktor selingkuh”
“Janji, Kak, jangan kasih tahu ya”
“Ya ... jangan takut”
Sesampainya di pintu pagar, Jo menghentikan laju motornya. Ia melihat bunga yang ia beri kemarin masih terselip di sela pagar. Jo memegang bunga yang sudah mulai layu itu. Jo merasa kalau dirinya belum dimaafkan, itu suatu kesalahan besar yang telah ia lakukan.
“Mar, seandainya ada orang yang mengatakan padamu perawan tua, apa kau marah?”
“Hmmmm? Aku sih easy going orangnya, Kak. Kalau memang benar ngapain marah. Tapi ada orang yang langsung marah lho, Kak. Bisa-bisa diterkam. Lagian mencap orang sepetrti itu kan ga bagus. Memangnya siapa yang kakak bilang seperti itu? Kak Syema ya?” tukas Martha tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
“Nggak, kakak cuma nanya aja”
“Kakak masuk ya pintu pagarnya terbuka tuh. Aku takut sama anjing. Kalau pintu rumahnya sudah terbuka aku nyusul”
“Anjingnya kan di rantai, Mar”
“Ya sih, tapi kalau tiba-tiba lepas, gimana? Digigit kan? Bisa bisa aku kena rabies”
Jo menepuk jidatnya, merasa aneh dengan ucapan yang baru saja dikatakan Martha, khayalannya terlalu jauh hingga membayangkan kalau ia digigit anjing. Ahhh, ngasal.
“Okelah, tunggu di sini”
Jonathan membuka pintu pagar, anjing itu langsung mengonggong dan mencoba untuk menerkam.
“Sabar ... sabar man. Aku bukan maling. Cuma mau ketemu sama majikanmu”
“Tak apa-apa, kak Jo. Lanjut aja” sambar Martha dari luar pagar dengan semangatnya.
“Shhh. Udah tenang aja, Mar. Ribut ahhh, ntar tetangga sini pikir kita pencuri ... nyerocos terus”
“Upss” Martha menutup mulutnya dan melirik kiri dan kanan tetangga Syema
“Aman, Kak, tak ada orang yang lihat dan dengar”
“Huu” ujar Jonathan mendesah mendengar ucapan Martha.
Jonathan sudah berdiri di depan pintu dan sudah menekuk jari-jarinya untuk mengetuk. Ia mengurungkan niatnya dan menurunkan tangannya. Ia melihat ke belakang dan Martha memberikan isyarat agar Jo mengetuk pintu itu segera.
Sekali lagi ia menekuk jemarinya dan mengetuk hingga tiga kali. Pintupun dibuka. Syema memandang Jo heran dengan tatapan tajam. Syema hanya terdiam. Jonathan mulai buka suara, “Haii, Syem”
“Ngapain?”
“Mau lihat kamu.”
“Hmmm ... nggak mesti”