“Kita mau ke mana nih, Bin?
“Ikut aja”
Sebuah gedung yang tak asing sering dikunjungi Syema saat bersama Riki. Tempat mujarab untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja, setidaknya kelelahan bisa terobati dengan susunan buku yang berjejer di rak buku. Tempat yang nyaman dengan buku kesukaan membuat lupa waktu.
“Ambil buku yang kau suka, Syem”
“Aku lagi malas baca. Kepalaku mumet rasanya mau pecah”
“Gimana nggak pecah, bacaanmu tuh berat”
“Ada benarnya juga sih”
“Aku dengar kamu sudah...”
“Sudah apa?”
“Sudah putus dari ...”
“Hmmm ... bahas yang lain aja, Bin, aku malas bahas yang begituan”
“Ya udah aku cari buku dulu di sebelah sana ya”
“Oke”
Binsar mengambil buku yang berisi kumpulan puisi milik Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni. Ia membaca beberapa bait hingga ia juga melewati beberapa halaman. Ia hanya ingin mencari kalimat yang tepat untuk ia tuliskan di halaman depan buku yang hendak ia berikan kepada Syema.
Syema tengah asik membaca buku humor, hingga ia terpingkal-pingkal membaca kata demi kata. Tawanya menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sana.
Binsar mendengar tawa itu dan tersungging senyuman dari dirinya.
Benar adanya, dirimu banyak berubah. Aku tidak peduli, aku suka dirimu bukan bentukmu. Entah kenapa dirimu yang dulu dan yang sekarang memang berbeda. Namun dulu dirimu milik orang lain. Tidak sekarang. Aku ingin menjadi tempat terbaik buatmu Syem. Sudah lama aku mengenalmu, tidak ada keberanian sedikitpun untukku mengatakan perasaan ini. Aku takut karena waktu itu kau sangat bahagia dengan laki-laki lain, hingga kau menyingkirkan diriku. Meski telah lama, rasa yang kumiliki ini masih ada, dan masih mekar. Aku tahu kau mungkin tidak akan menerimaku. Aku tahu kau juga masih kecewa, tapi biarkanlah aku menjadi penawar untuk setiap duka dan masalah yang kau hadapi kini. Berat memang memikul perasaan itu sendiri, namun aku bisa menjadi sandaran utnukmu. Cepat atau lambat, kau harus mencari pengganti yang terbaik. Aku tidak merasa menjadi yang terbaik, tapi aku ingin belajar menjadi yang terbaik dan bersama memikul setiap masalah yang kita hadapi.
Syem, aku tahu aku telah salah waktu itu, aku mengucapkan perasaaanku kepadamu setelah kau sudah ada belahan jiwa. Kau menertawaiku waktu itu. Aku begitu kecewa dengan omonganmu. Kau mempermalukanku saat itu. Namun belahan jiwa yang kau agung-agungkan itu meninggalkanmu sedemikian rupa dan meninggalkan bekas teramat sangat, hingga kau sulit melupakannya. Kau bahkan tidak mempedulikan lagi tentang penampilanmu. Kau begitu terpukul. Syem, kalau saja waktu itu kau mau berpaling dari laki-laki itu, aku jamin kau tidak akan tersakiti. Sekarang aku hanya tinggal menunggu jawabmu saja.
Apalagi saat kita bekerja bersama, aku rindu saat-saat itu. Aku bisa menatapmu lama meski aku tahu kau hanya menganggapku teman atau bahkan tidak ada. Aku merasa menjadi bodoh saat dekat denganmu. Apalagi saat pacarmu menjemputmu sepulang kerja, saat itu aku merasa tidak berguna. Aku bahkan ingin merampasmu secara paksa dari pacarmu. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Namun aku masih punya logika. Aku urungkan niat burukku itu hanya untuk melihat tawamu. Aku takut kalau aku jujur, kau akan menjauhiku.
Aku bahagia saat kita pergi bersama naik mobil, hari itu kau begitu lemah hingga kau tertidur di bahuku, kau mabuk darat, hingga muntahanmu mengenai celanaku. Aku tidak merasa jijik.
Syem, aku bahkan menangis saat aku meninggalkan pekerjaan sewaktu bersamamu. Tujuanku hanya satu, menghindar darimu agar aku tidak terlalu mendalami cinta ini. Kemudian rasa inipun hilang perlahan semenjak aku melangkahkan kaki di tempat yang berbeda darimu. Itu salah satu jalan agar aku terhindar dari buruknya cinta, agar aku terhindar dari wajah pria yang menyukaimu, dan aku bisa terus menyanjungmu dari jauh saja, meski terkadang kita bertemu di beberapa pertemuan.
Setelah aku mendengar kabar itu bahwa kau tidak jadi menikah, perasaan ini berkecamuk. Apakah ini kemenanganku atau kekalahanku. Apakah ini menjadi tanda bahwa aku masih punya kesempatan untuk kembali mengagumimu. Ahhh, aku tidak berani. Aku takut kau malah mencaci makiku.
Waktu itu, kau anggap rasaku ini hanya sebagai candaan belaka. Aku maklumi. Karena itu memang mauku, candaan ini bisa mendekatkanku kepadamu kala itu. Kenapa kau tidak minta putus saja waktu itu dengan laki-laki itu? Kau bisa bersamaku dengan kebahagiaan yang tidak akan kau temukan dalam diri orang lain kecuali aku.
Binsar terkejut saat Syema menepuk bahunya dengan buku. Sontak, buku yang Binsar pegang terjatuh.
“Syem ... Syema Wegari jantungku mau copot”
“Kan masih mau, Bin ...” tawa Syema lepas, “Puitis amat baca buku begituan?”
“Hmmm, pelepas lelah dan pelepas stress. Capek baca buku yang terlalu serius”
“Hmmm, akhirnya, kau akui juga ya, buku yang selama ini kau baca ternyata juga membuatmu stress”
“Yahhh, nggak jauh beda denganmu, Syem. Sudah dapat bukunya?’
“Hmmm, aku mau beli yang ini aja, aku mau ngakak malam ini”
Binsar melihat judul buku yang Syema pegang, “Idihh, ini bisa membuat perutmu dikocok-kocok, bisa-bisa kau tak tidur ngingat cerita itu”
“Udah lama nggak ngakak lepas, Bin”
“Bagus itu, obat luka hati”
“Maksudmu?”
“Hmmm, aku ...”