SYEMA WEGARI

Elisabeth Purba
Chapter #22

Merangkul Jo

Sore itu, seperti biasa kepulangan Syema selalu disambut hangat oleh Browny. Sambutannya begitu menyenangkan. Ekornya yang panjang ia kibaskan ke kaki Syema sambil menggonggong. Syema akan menyentuh kepalanya sejenak, barulah Browny akan terdiam.

“Kapan datang?” Tanya Syema terheran dengan kening berkerut.

“Baru aja sampai” ujar Nita girang sembari mengelap meja makan.

“Kenapa nggak bilang-bilang?”

“Kok harus bilang, ini kan ... hmmmm” ucap Nita terputus menutup mulutnya.

“Apaan? Nggak ngerti deh”

“Ada aja”

“Keponakanku mana?”

“Lagi tidur tuh ... kecapekan”

“Kok rumah jadi rame, Bu? Ada perayaan apa ya? Ada yang mencurigakan nih”

“Mencurigakan apa, Syem?”

“Pokoknya ada yang kalian sembunyikan dariku. Tuh ada ucapan selamat datang Danu ... Waduh, ini pasti kerjaan ibu dan kakak, kan? Aku nggak main-main kali ini”

“Tak ada yang main-main, Syem”

“Kenapa semua orang mencampuri hidupku?” teriak Syema geram mengusap wajahnya.

“Syem, wajar dong kami peduli dengan hidupmu. Hidupmu sudah banyak menderita. Jangan lagi kau pikirkan kisah lamamu itu. Pikirkan umur dan masa depanmu”

“Kenapa dengan umurku? Apa aku sudah terlalu tua?”

“Bukan begitu, kakak mau kamu bahagia”

“Yang menentukan bahagia atau tidaknya itu cuma Syema, Kak. Jadi tolong hentikan ini. Aku benci ada acara perkenalan begini. Aku tidak akan mau. Cukup ... cukup ...  cukup. Kalian tidak menghargai privasiku”

Syema berlari ke kamar dan membanting pintu sekuat tenaga.

“Kenapa dengan Syema?”

“Ngamuk”

“Maksudmu?” tanya ibu kepada Nita.

“Dia tahu bahwa akan ada yang datang ke rumah untuk kita kenalkan sama Syema, Bu”

“Jadi dia sudah tahu? Jadi gimana?”

“Ibu sih pakai spanduk segala. Ibu yang uruslah, ibu yang punya rencana”

“Kalau begini terus, Syema bisa jadi nenek-nenek ompong tanpa suami”

“Bujuk aja dulu, Bu, siapa tahu dia nggak marah lagi”

Ibu masuk ke kamar dan berjalan pelan mendekati Syema yang sedang berbaring memeluk guling.

“Syem, dengar ibu dulu”

Syema mengangguk.

“Hadap sini, lihat ibu ... Ibu mohon, ini yang terakhir. Kalau memang ini tidak cocok, ibu ngalah. Ibu tidak akan paksa kamu. Kamu boleh memilih hidupmu. Ibu cuma mau kamu bahagia sebelum ibu mati.”

“Semua orang pasti mati, Bu, tidak terkecuali”

“Ya ... ibu tahu, ibu mau kamu menikah dulu baru ibu mati”

“Apa harus menikah, Bu?

“Harus”

“Syema mau menikah, Bu, tapi tidak sekarang”

“Apa kau mau sampai umur 40 tahun? Udah keburu ubanan kamu, Syem.”

“Jodoh Tuhan yang atur, Bu. Jangan paksa Syema seperti ini. Syema tak mau kecewa. Syema sudah terlalu sakit hati atas kejadian yang sebelumnya”

“Ibu paham, Syem, maka dari itu ibu mau kau mengenal laki-laki yang lain selain laki-laki brengsek yang sudah mengecewakanmu itu”

“Syema mau sendiri, Bu, Syema tak mau punya pasangan. Sudah cukup, Bu. Jangan hiraukan Syema. Ibu sudah banyak berkorban. Syema tidak akan mau menemui laki-laki itu, Bu. Telepon mereka sekarang dan bilang Syema sakit atau apalah biar mereka tidak jadi datang. Dari pada mereka kecewa setelah sampai di sini”

“Terserahlah, ibu sudah capek dengan keputusanmu ini”

“Terima kasih, Bu, sudah mau mengerti Syema”

Syema beranjak dari tempat tidur untuk mengambil tasnya disangkutkan di balik pintu. Ia mengambil ponselnya dari tas karena suara pesan masuk membuatnya tidak nyaman. Barangkali ada pesan penting.

Syem, besok ada waktu tak?

Ahhh, untuk apa Jo menanyakan itu? Apa dia tidak tahu suasana hatiku masih begitu kacau. Apa harus kubalas pesan dari Jo? Gumam Syema sembari menjatuhkan badannya di atas tempat tidur.

Lima belas menit berlalu, Jo akhirnya menelepon Syema karena tidak kunjung mendapat balasan pesan. Syema ragu-ragu untuk menjawab teleponnya. Apa ada masalah penting yang mau dibahas? Suara deringan telepon membuat telinga Syema pekak. Ahhh Jo waktunya tidak tepat tapi apa mau dikata Syema harus menjawabnya.

“Ya, Jo” ujar Syema dengan suara berat.

“Hmmm, apa kau baik-baik saja, Syem?”

Lihat selengkapnya