Sehabis diskusi mengenai Kesehatan Reproduksi, Jonathan dan Syema meluncur ke kantor.
Martha mendekati Syema dengan wajah pucat dan bibir yang gemetar, “Sudah selesai, Kak?”
“Hmmm, pastinya, Mar. Makanya sudah ada di sini”
“Pasti seru ya”
“Biasa, diskusi dengan anak remaja membuat diriku seperti mereka. Next, kamu temani aku ya. Gimana dengan gadis itu?” tukas Syema dengan wajah lesu melangkah menuju shelter.
Martha menghalang-halangi langkah Syema. Ia tepat berjalan di depan Syema dengan tatapan lesu.
“Kenapa, Mar. Kok jalan mundur gitu?”
“Gimana ya gimana ya”
“Apanya yang gimana?”
“Aduh ... gimana ya ...”
“Awas ... kamu menghalangi jalanku” Syema menepis badan Martha pelan. Martha berdiri mematung bersandar di dinding sambil menutup mata.
Syema masuk ke kamar gadis itu dan melihat sekelilingnya. “Mana gadis itu? Ke kamar mandi kali!”
Syema keluar dari kamar itu dan mendekati Martha, “Mar, mana gadis itu?”
Martha tertunduk dan menggigit kukunya sambil sesekali melirik Syema.
“Ke mana dia, Mar?” Tanya Syema kesal.
Syema mencari ke sekeliling Shleter seperti seorang penggeledah. Namun Syema tidak menemukan gadis itu di manapun.
“Kenapa, Syem? Cari siapa? Ada yang hilang?”
Syema tidak merespon Jonathan, dia kembali ke belakang menemui Martha dan berseru pelan namun dengan tatapan nanar.
“Jawab jujur, Mar, mana gadis itu?”
“Melarikan diri, Kak”
“Apa!” teriak Syema menggoyang tubuh Martha, “Kau tidak sedang becanda kan?”
“Ada apa, Syem?” Tanya Jo.
“Gadis itu lari”
“Benar, Mar?” Tanya Jo dengan nada tinggi.
“Kenapa kau tanya lagi. Itulah kenyataannya “ujar Syema mendorong meja dan kursi di ruang tunggu Shelter dengan kuat hingga kursi itu terbalik.
Bukan hanya itu, Syema meluapkan amarahnya yang meledak-ledak itu hingga ia membalikkan sebuah meja.
“Tenang, Syem” tukas Jo sembari menahan Syema untuk tidak bertindak belebihan.
Syema kembali menghantam dinding dengan kepalan tangannya dengan amarah yang teramat sangat sambil teriak. Seketika tangannya memar.Teriakan itu membuat Sarma dan Lida masuk ke ruang tunggu Shelter.
“Kalian memang benar-benar tidak punya otak semuanya, gadis itu sedang dalam masalah, tapi kalian tidak peduli sedikitpun. Omong kosong apa ini? Apa kalian tidak malu kalau mendengar bahwa ada seorang korban yang melarikan diri dari sebuah shleter hanya karena penjaganya atau orang-orang yang ada di dalam tidak aware. Kalau tahu begini, aku tidak akan melakukan diskusi itu tadi. Lid, ini semua tanggung jawabmu.”
“Kok aku?”
“Siapa lagi? Kau yang ada di sini”
“Ibu Entina, dia kan penjaga shelter”
Ibu Entina berujar pelan, “Maaf nak Syema. Tadi saya pergi sebentar ke pasar untuk membeli kebutuhan gadis itu”
“Dan pastinya ibu minta izin sama Lida, kan?”
“Ya” jawabnya mengangguk.
“Ohh, jadi kau mau membasuh tanganmu dan bilang ini bukan salahmu ya Lid, begitu? Aku sudah tahu kinerjamu dari dulu, aku yakin ibu Entina selalu minta izin kalau mau keluar.
Jadi apa yang bisa kau pertanggung jawabkan? Di kantor ini sudah jelas SOP nya, saat kak Donta tidak ada di kantor, semua menjadi tanggung jawabmu, apa kau lupa itu. Itukan selama ini maumu. Waktu aku mengemban tugas itu, kau bilang aku tidak layak dan kau bilang aku tidak bertanggung jawab dengan semua tugas. Oke aku lepas dan kuberikan dengan sadar di hadapanmu jabatan sebagai penanggung jawab sementara. Tapi inikah yang namanya tanggung jawab” teriak Syema di wajah Lida.
Jo menahan Syema agar tidak melewati batas kewajarannya saat marah.
“Lepaskan tanganku, Jo. Jangan ikut campur”
Lida menyahut kesal, “Jangan seenak mulutmu menyalahkan orang lain ya, Syem”
“Sekarang kau hubungi kak Donta katakan situasi di sini sedang gawat. Aku mau pergi mencari gadis itu”
“Tunggu nak Syema, tadi ada selembar kertas ditinggalkan gadis itu” tukas Ibu Entina sembari melangkah menuju kamar shelter.
Lembaran kertas itu berisi:
Tolong selamatkan adikku, Lidya. Nanti malam dia ada di gedung Antares.
Tolong tolonglah dia. Jangan pedulikan aku.
Lolita
“Aku pergi”