Sebuah surat panggilan dari kepolisian dikirimkan ke kediaman Jonathan. Jantungnya berdegup kencang hingga darahnya mendesir hebat. Tertera di surat itu bahwa ia harus datang besok pukul 09.00 pagi. Pikirannya melayang ke beberapa peristiwa yang pernah ia alami. Namun ia belum menemukan alasan yang tepat kenapa surat panggilan ini ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak pernah terlibat dengan kejadian apapun secara langsung.
Sebelum pukul 9.00, Jo sudah berada di tempat untuk memenuhi panggilan. Sebagai warga negara yang baik, tidak pantas rasanya menolak untuk membantu kepolisian mengungkap suatu kasus berkat kesaksian yang akan ia sampaikan. Belum lama ini, Jo memutuskan untuk berhenti menjadi pengacara setelah berhenti bekerja di lembaga Boru Na Gogo. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Kini, ia lebih tertarik untuk mengabdikan dirinya di dunia literasi dengan melahirkan buku-buku tentang hukum. Naskah buku yang sudah ia tuliskan sudah ia kirimkan ke beberapa penerbit mayor. Namun belakangan, ia terobsesi untuk menelurkan sebuah karya novel. Itu sudah menjadi cita-citanya sedari dulu. Naskah novelnya sudah rampung dan tinggal menunggu cetakan pertamanya jadi.
Dengan perasaan gundah, Jo terhenti sejenak. Dari kejauhan Syema tampak sedang duduk dengan Lidya. Ya Lidya. Gadis belia yang membawanya terlibat dengan kasus penyelamatan dramatis itu. Lalu apa yang sudah terjadi? Mengapa Lidya juga berada di tempat ini.
Jo melupakan sejenak perkataan Syema yang begitu kasar beberapa waktu yang lalu. Senyum tipis terpaksa terpancar dari wajahnya. Ia mulai melangkah mendekati Syema dan Lidya. Perasaan kikuk membebaninya. Ia bingung harus mengatakan apa. Dengan gerakan canggung dan terbata-bata, ia mulai menyapa pelan dengan dada yang membusung.
“Haii ... lama tak jumpa” ujarnya melambaikan tangan.
Lidya berdiri dengan lusuh dan memberikan senyum tipis singkat. Jo memegang bahunya dan ia duduk kembali. Kemudian Lidya menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya.
Syema nyaris tidak bergeming melihat kehadiran Jo. Ia seperti orang asing.
“Apa yang sudah terjadi?” Tanya Jo yang duduk di samping kanan Lidya.
Lidya mengangkat kepalanya, “Ahhhh ... sebulan setelah kematian kakakku aku dikabari oleh teman lamanya. Aku datang kembali ke tempat ini hanya untuk berziarah. Aku berhutang nyawa kepada kakakku. Kenapa dia mau bunuh diri sementara aku diselamatkannya. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia tidak serapuh itu. Itulah yang terlintas dalam benakku. Kematiannya membayangiku setiap hari. Namun beberapa hari yang lalu. Polisi meneleponku dan memintaku untuk datang memenuhi panggilan sebagai saksi atas kematian kakakku. Lalu apa kakak juga mendapat surat panggilan?”
“Benar Lid. Kakak mendapat surat panggilan kemarin” jawab Jo mengusap punggung Lidya pelan.
“Bagaimana denganmu, Syem?” tanya Jo memberanikan diri. Meski Awalnya Syema tidak memberikan jawaban. 5 menit kemudian ia berujar singkat dengan tatapan sangar.
“Aku juga demikian.”
“Apa yang akan terjadi, Kak?” Desah Lidya cemas.
“Entahlah. Jangan takut, kita hanya dimintai keterangan. Jawablah seperti yang kau alami waktu itu. Tidak akan terjadi apa-apa denganmu, Lid” Ujar Jo menenangkannya.
Lidya menuju ruangan untuk memberikan keterangan perihal yang terjadi di malam kematian Lolita. Ada informasi baru yang disampaikan penyidik yang Lidya tidak ketahui. Lolita tewas bukan karena bunuh diri melainkan dibunuh. Seseorang melaporkan bahwa malam saat kematian itu seseorang mendorong Lolita dari lantai enam. Sebelumnya Lolita terlebih dahulu ditusuk. Kejadian itu makin kompleks. Yang membuat kejadian itu kompleks adalah seseorang yang mengaku sebagai sanak saudara mengambil jenazah tanpa diautopsi. Watu itu orang yang mengaku saudara meminta pihak kepolisian mengizinkan membawa jenazah dengan alasan bahwa peristiwa itu murni bunuh diri bukan pembunuhan. Benar adalanya bahwa Lolita yang membunuh ibu tiri mereka. Kini pihak kepolisian tengah mencari pelaku pembunuh Lolita.
Mendengar kenyataan itu membuat Lidya semakin terpukul. Polisi meminta agar Lolita behati-hati mengingat si pembunuh masih berkeliaran. Bisa jadi si pembunuh mengincar Lidya.
Di tempat yang sama, Syema juga memberikan keterangan mengenai peristiwa malam itu. Ia membeberkan semua yang terjadi. Tidak ada yang ia sembunyikan. Ia mengatakan bahwa berita kematian itu ia ketahui melalui surat kabar. Syema memberikan jawaban singkat untuk setiap pertanyaan yang disampaikan penyidik. Pertanyaan yang membuatnya menahan gelak tawa adalah saat si penyidk menanyakan keperluan Syema di TKP. Ia harus menyamar menjadi perempuan malam untuk menolong Lidya. Tersungging senyum tipis dari penyidik yang berkumis tebal itu. Tangannya lihai sekali mengetik dengan 10 jari tanpa melihat papan ketik. Agak sedikit menegangkan memang saat penyidik menatap tajam sambil memberikan sederetan pertanyaan. Syema membalas tatapan itu tegas tanpa canggung. Ada sekitar 30 pertanyaan yang harus Syema jawab. Ia memberikan jawaban tanpa ada keraguan sedikitpun. Penyidik juga menyarankan agar Syema berhati-hati karena pembunuh masih berkeliaran. Dari awal Syema memang merasa aneh dengan kejadian malam itu. Ia tidak percaya kalau Lolita bunuh diri sementara ia berkorban untuk menyelamatkan adiknya. Kecurigaan Syema terjawab sudah.
Jo tampak santai memasuki ruangan itu. Karena bukan kali pertama ia berada di tempat itu. Bagaimana bisa Jo percaya begitu saja perihal kematian Lolita yang bunuh diri. Kabar baru ini justru membuat bingung. Kenapa Lolita dibunuh? Padahal Jo sudah melupakan kejadian itu. Meski demikian ada ketakutan yang terselubung di dalam hatinya. Apakah kejadian ini hanya cukup sampai di sini? Ia merasa kejadian ini akan masih berlanjut, mengingat si pembunuh belum ditemukan. Bagaimana kalau si pembunuh masih mengincar Syema atau Lidya? Apa itu mungkin? Sepertinya pembunuh ini mengenal baik korban.
Lidya dijemput oleh perempuan yang sama di malam kejadian itu. Syema memeluk Lidya dan berakhir dengan airmata yang jatuh di pelupuk mata Lidya hingga membasahi bahu Syema.