Seorang lelaki berpenampilan nyentrik menjajakan panci dagangan dengan penuh semangat. Logat Jawa terdengar begitu kental, meski bahasanya campur aduk. Terkadang dengan bahasa Indonesia, terkadang pula dengan bahasa Jawa yang membuat gaya bicaranya menjadi lucu.
Tanpa kenal lelah, ia berteriak ke sana kemari untuk menawarkan panci kepada tiap orang yang melintas di depannya. Sesekali ia merapihkan poni yang hampir menutup sebelah mata ketika rambutnya tertiup angin.
"Panci ne1, Mbak. Yok dibeli, yok. Apik iki2, loh. Anti bocor. Anti pecah," ucapnya sekali lagi pada seorang gadis yang sedang berjalan melewatinya. Dia menekankan huruf 'r' saat mengatakan kata bocor hingga air liur bermuncratan dari mulut.
Rasa lelah akhirnya menghampiri, membuatnya memutuskan mundur sejenak dari trotoar tempat ia berdiri. Ia memilih duduk di sebuah bangku panjang di dalam taman yang tidak jauh dari tempat berjualan.
"Walah dalah, nasib! Kok yo3 apes tenan4 hidup saya ini, loh. Ndak5 ada enak-enaknya. Tiap hari sing6 dilihat panci ... melulu," keluhnya sambil memandangi barang-barang dagangan yang belum berkurang sedikit pun sejak tadi.
"Permisi."
Seseorang tiba-tiba mengejutkan. Ia menatap orang itu dari ujung kaki hingga ke rambut. Kemudian bangkit sambil mengangkat salah satu panci jualannya, menawarkan pada orang tersebut dengan semangat 45. Namun, senyum menghilang tatkala orang itu memberikan secarik kertas berisikan sebuah alamat rumah padanya.
. Laki-laki berpakaian norak itu terlihat kaget. Ia memandang orang di hadapannya dari atas hingga ke bawah berulang kali, membuat yang ditatap menjadi bingung.
"Ah, kenalin. Saya Keenan Haidar. Panggil aja Keenan." Keenan mengulurkan tangan.
"Perkenalkan, Ngatimin." Ia membersihkan tangannya sebelum menyambut uluran tangan Keenan. "Ngatimin Prederiko. Sales panci nan tampan rupawan yang ketampanannya melebihi Pernando Jose."
Ngatimin kemudian memegang poninya, membuat Keenan tersenyum geli. Kebiasaan Ngatimin sangat aneh menurutnya.
Setelah memperkenalkan diri, mereka mengobrol banyak hal mulai dari asal usul keduanya, hingga tujuan Keenan datang ke kota Jakarta. Sepanjang bercerita, Keenan tak henti tertawa sampai membuat Ngatimin kebingungan.
"Mas ini lucu juga ya ngomongnya. Bahasanya campur aduk kayak adonan," ungkap Keenan ketika Ngatimin bertanya bagian mana yang membuatnya geli.
Ngatimin nyengir kuda mendengarnya. Kemudian, dia menjelaskan bagaimana bahasanya bisa seperti itu. Saking lucunya, Keenan tidak bisa menyembunyikan tawa. Ia terus gelakak seolah ribuan kupu-kupu menari-nari dalam perutnya.
"Serius, Mas? Memangnya blasteran apa, Mas?" tanyanya di tengah pembicaraan.
"Jadi ceritane7, pada zaman dahulu ...."
Ia mulai bercerita kembali tentang bagaimana ia mendapatkan namanya. Lalu di tengah ceritanya, Keenan bertanya, "Maksud kamu Fernando J(H)ose?"
Tawa Keenan kembali meledak. Kali ini lebih kencang sampai membuat orang-orang yang juga sedang berada di taman memperhatikan mereka. Ia buru-buru membekap mulut agar tawanya mereda.
Ngatimin pun terperangah. Ia tidak pernah tahu kalau selama ini ia telah salah menyebutkan nama. Ia merasa malu pada Keenan.
"Maap, Mas. Saya ini ra iso8 ngomong kayak gitu, Mas. Wong9 nama saya aja di akte ditulisne10 Fredericho. Tapi, karena saya enggak pinter nyebutnya, jadilah Prederiko."