Keesokan paginya, di salah satu bilik sederhana berbahan setengah beton yang terletak di ujung lorong sempit daerah Jakarta Selatan, terdengar suara seorang pemuda yang begitu merdu melantunkan sebuah lagu.
"Yen ing tawang onooo lintang cah ayuu, aku ngenteni tekamuuu¹ ...."
Langgam Jawa yang pernah dipopulerkan oleh seorang penyanyi bernama Waldjinah, begitu indah dinyanyikan. Ia bersenandung sembari menjemur pakaian yang ia cuci barusan.
Suara gemericik air yang berasal dari perasan celana yang ia jemur pun, turut mengiringi nyanyiannya.
"Suaraku ini, legit tenan koyo gulali²." Ia berdecak mengagumi suara sendiri. "Emang bener yo, air laut itu rasane3 asin dewe4," lanjutnya terkekeh kecil.
Pemuda Jawa bernama Ngatimin itu terus bersenandung. Kadangkala ia tertawa sembari mengibas pakaian basah, sebelum disangkutkan ke atas kawat jemuran. Entah apa yang dibayangkan hingga ia gelakak sendiri seperti orang gila.
Ia terus saja bernyanyi sampai membangunkan tidur teman barunya.
"Min ...."
Suara teman yang memanggil, membuat tembangnya berhenti. Keenan, lelaki turunan Indonesia-Jerman itu menyembulkan kepala dari balik jendela. Sambil mengucek mata yang perih, ia meminta tolong pada Ngatimin untuk membelikan sesuatu.
Pemuda berkulit sawo matang yang hanya mengenakan singlet hitam, bergerak mendekat ke arah jendela. Ia mengelap tangan yang basah di celana training yang ia kenakan.
"Tolong opo5, Mas?" Ngatimin mengulangi pertanyaan setelah berada di dekat jendela.
Keenan mengeluarkan selembar uang dari dompet, lalu memberikan pada Ngatimin. “Tolong kamu belikan saya sarapan.”