Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Di setiap langkahnya, ada saja orang-orang yang menyapa. Mulai dari perawat hingga pasien dengan berbagai macam gangguan jiwa.
"Pangeranku ... akhirnya kau datang menjemput. Aku sudah lelah menantimu. Lihatlah betapa cantiknya aku," keluh perempuan yang rambutnya dikuncir dua sembari mencebik.
Lelaki itu tertawa kecil, lalu mengisyaratkan seorang perawat agar membawa pasien tersebut.
Ia kembali berjalan menyusuri sepanjang lorong gedung RSJ Dr. Soeharto, yang berlokasi di Jakarta Barat. Netra hazelnya yang sayu mendadak teralih pada satu pemandangan di tengah taman.
Meski kaki kini menjejak di atas hijau sang rumput, tetapi siluet wajah lelaki yang terpantul akibat paparan sinar mentari itu tetap tampak rupawan. Bahkan rahang yang tegas dan hidung mancungnya masih terlihat jelas.
Langkahnya terhenti di bawah sebuah pohon rindang taman. Lalu, sembari membetulkan kerah jubah putih yang agak miring, ia berkata, "Bagaimana keadaannya, Dokter Pram?"
Seorang lelaki berusia 53 tahun, memakai jubah yang sama, menjawab, "Dokter Arvin, sejak kapan Anda di sini?"
Pramono menoleh, tanpa menggeser posisi berdiri. Sebuah senyum terukir di wajah yang mulai menua.
Arvin tersenyum dan berkata, "Baru saja, Dok. Bagaimana keadaan pasien ini?"
Di atas kursi roda, seorang wanita seusia Pramono diam dengan tatapan kosong.
"Masih sama, Dok. Belum ada perkembangan yang signifikan." Pram tersenyum masam.
Arvin menarik napas berat. Sudah lama ia tak mendengar suara si wanita, bahkan untuk tersenyum pun tidak.
"Lantas, apalagi yang harus kita lakukan, Dok?" tanyanya kembali.
Ia mendorong wanita dan kursi rodanya, lalu mengajak berbincang Dokter Pramono di sebuah bangku panjang.
Di lain sisi, seorang wanita bertubuh semampai berjalan bersama perawat. Surai hitam, dan selendang yang menutup dada, melambai-lambai tertiup angin. Membuatnya sedikit kelabakan tatkala kain itu merosot. Hingga sampai di ujung lorong, perawat itu memintanya berhenti dan menunggu.
"Sebentar, saya akan segera kembali."
Ia terus berjalan meninggalkan wanita itu. Sampai di taman, langkahnya berakhir.
"Maaf, Dokter Pram, seseorang ingin bertemu dengan Anda."
Sang perawat mempersilakan agar wanita itu mendekat, lalu meninggalkan wanita itu dengan dokter Pramono. Dokter lantas bangkit menyapanya.
"Apa kabar, Miss A? Sepertinya saya tidak memiliki janji dengan Anda."
Miss A, membuka kacamata hitam, lalu menyelipkan di antara kerah baju. "Maafkan kelancangan gu—saya, Dok. Tadinya saya ingin bertemu Dokter di klinik, tapi asisten Anda meminta saya agar datang kemari."