Saat memutuskan membuka masa lalu yang pahit, persiapkan hatimu. Dan ketahuilah, akan ada hati lain yang tak mampu menerima.
——Assyifa Razi Algustaf
∞
Keenan meneliti setiap jengkal tubuh manusia yang berdiri di hadapannya. Perempuan itu memiliki ciri fisik yang hampir sama dengan Moli, kecuali bentuk kelopak mata dan warna rambut. Moli agak sipit dengan rambut chestnut brown, sementara Syifa bermata bulat dan berambut hitam. Itu pun tak kentara jika hanya memandang sekilas.
Sejenak, dirogohnya ponsel yang berdering dalam saku celana, membuka sebuah pesan dari Whatsapp yang sempat membuat bingung. Namun, ia mencoba tetap fokus. Lalu, pandangannya berganti. Dari benda persegi yang ia genggam, kembali ke arah wajah si wanita lagi.
Sementara itu, wanita yang ditatapi tak peduli dan lebih memilih memainkan rambut. Bagaimana dengan Moli? Ia mulai jengkel saat Keenan menatap temannya tanpa berkedip.
"Lu nyari dia cuma buat dipandangi doang?" tanya Moli sarkastis.
Keenan terkesiap. Sadarnya telah kembali setelah lama bersembunyi. Netra mengedip beberapa kali sebelum akhirnya suara terdengar. "Syifa?"
Makhluk feminin di hadapannya mengangguk pasti. Tentu dengan tatapan angkuh. "Kenapa?"
"Kamu sungguh-sungguh Syifa?" Keenan masih tak percaya dengan apa yang ada di depannya.
Terik sang surya sudah berkurang dan kumandang azan asar juga telah terdengar sejak 15 menit lalu. Keenan dan Syifa duduk di atas kursi rotan, dengan satu meja bundar yang memisahkan. Sementara Ngatimin dan Moli, mengambil tempat duduk di atas beton setengah meter penyekat teras.
"Lu siapa, sih? Datang ke sini, merecoki hidup gue dengan cerita-cerita yang enggak penting!" Setelah beberapa menit, Syifa memecah kebisuan. Ia menyesap batangan rokok yang menyala dan tanpa dosa mengembuskan asap ke wajah Keenan.
"Saya hanya menjalankan tugas. Pulanglah, Syifa. Kasihanilah kedua orang tua yang mencarimu." Sembari menepis-nepis tangan di depan wajah agar asap tak menyeruak hingga ke rongga hidungnya.
"Gue enggak punya orang tua! Mereka udah mati sejak gue SD. So, please ... lu enggak usah ngarang, deh!"
"Jangan begitu, bagaimanapun mereka tetaplah orang tuamu."
"Lu bandel banget dibilangin, ya!"