"Kepada kau sang bayu malam, bisakah ku bertanya? Kenapa harus memuput lara, pada luka yang masih menganga?"
—— Assyifa Razi Algustav
∞
"Kemarilah!" Suara si wanita tua terdengar menyeramkan.
Bocah polos yang dipanggil datang menunduk, lalu dengan langkah gemetaran mendekat. Begitu ia sampai di depan satu ruangan, bau dinding basah berlumut menyeruak hingga ke rongga hidung. Ia sampai mual saat masuk ke dalam.
"Cuci semua yang ada di sini. Kau boleh makan setelah menyelesaikannya!"
Retinanya beralih ke tempat yang ditunjuk si tua bangka. Pemandangan piring kotor yang menumpuk terpampang nyata di sana.
"Semuanya?" Ia menatap dengan sorot mata tak percaya.
"Iya, semuanya."
"Tapi—"
Kalimat itu menggantung di udara saat suara si tua kembali mendominasi. "Tidak ada tapi-tapi. Kerjakan dan jangan membantah!"
Ia berlalu dari sana. Membiarkan sang anak duduk dan mengambil alih pekerjaan.
Setelah setengah jam bergelut dengan peralatan makan yang kotor, selesailah semua. Ia bangkit lalu meninggalkan ruangan berlumut itu.
Bayangan tentang kari ayam lezat yang ada di meja makan, membuatnya menelan saliva berkali-kali. Ia lapar sejak tadi.
Begitu sampai di dapur, baru saja tangannya berhasil meraih piring, sebuah suara lagi-lagi terdengar mengintimidasi dari arah belakang.
"Kau hanya boleh makan ini untuk hari ini, lauk di meja makan tidak boleh kau sentuh sedikit pun!"
Piring kecil yang berisi sepotong tahu goreng diletakkan di atas meja makan. Hanya itu,tanpa menu lain lagi. Anak yang malang, apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya mengangguk, tanpa berani protes.
Si tua bangka berlalu setelah memerintah. Tinggallah bocah yang kini menyantap nasi hanya dengan sepotong tahu, sendirian. Dari ambang pintu dapur, seorang lelaki remaja mengintip, seringai tajamnya muncul bersama senyuman penuh arti.
Sebuah bunyi membuyarkan lamunan Syifa yang duduk memandang ke luar jendela. Dari ekor matanya, ia bisa melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul 21.45. Setelah hampir 5 jam, kini ia bisa mendengar suara temannya yang sempat pingsan.
Syifa mendekat, duduk di pinggir kasur tempat Moli berbaring.
"Lu nggak apa-apa?" Tangannya terulur memegang kening Moli.
"Gue di mana?" Ia tak menggubris pertanyaan Syifa, justru malah bertanya balik.Kepalanya terasa sakit saat ingin bangkit.