"Bahkan meski diri ini hina, ia tetap punya hati. Jika memang kau enggan, cukup katakan enggan. Jangan malah menabur garam, pada luka sayatan."
——Faraz 'Moli
∞
Setelah perdebatan melelahkan, di sinilah dua anak manusia itu sekarang. Di dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalanan ibukota bagian selatan. Keduanya bungkam.
Gerald sibuk memperhatikan jalan, sedangkan Moli hanya memandangan lurus ke depan. Sementara pikirannya, sibuk berkelana pada peristiwa beberapa hari di kontrakan Keenan, yang menjadi pemicu perubahan pada dirinya.yang lalu.
Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa Keenan berlaku seenaknya? Sebuah dialog terngiang dalam otaknya.
"Kenapa lagi?" Keenan yang duduk di sofa, bertanya tanpa melihat Moli.
"Gue cuma—"
"Maaf, tapi saya tidak tertarik sedikit pun pada kamu. Jadi tolong, berhentilah menggoda. Dan jaga sikapmu!"
Moli memanyunkan bibir. Ia tak menyangka akan ditolak sekeras itu oleh seorang pria. Padahal dari dulu, ia tidak pernah sedikit pun mengalami penolakan. Bisa dibilang, ini kali pertamanya.
"Maksud lu apa? Lo pikir gue tertarik sama lu? It's a big NO!"
Perempuan, makhluk yang selalu punya alasan agar tetap benar. Apalagi Moli, yang punya segunung gengsi untuk mengakui kesalahan. Meski faktanya, apa yang Keenan bilang benar. Moli memang berusaha untuk menggoda. Namun, tetap saja wanita itu menyangkal.
Moli mengumpat sembari menghempas kepala ke jok mobil. Mengacak asal rambut chesnut brown-nya.
Sungguh, ia tak pernah merasa terhina. Namun, kalimat Keenan itu berhasil membuat batinnya sesak. Serendah itukah dirinya di hadapan Keenan? Hanya sebatas perempuan penggoda?
Ada yang aneh di sini. Keenan bukan siapa-siapa baginya. Namun, hanya karena satu kalimat Keenan, lantas membuat Moli bereaksi demikian. Apa Moli telah jatuh cinta padanya?
Moli menggeleng dengan cepat tatkala memikirkan itu.
"Enggak, enggak mungkin!"