"Sedang kupunguti keping-keping luka ini. Sebab itu, kuatlah hati. Agar aku tetap dapat bertahan, tanpa harus mati."
——Assyifa
∞
"Asalamualaikum ...."
Arvin baru saja kembali dari rumah sakit. Senyuman hangat bibi yang telah bekerja selama puluhan tahun dengan mereka, menyambut kedatangannya.
"Bik, Papa tidur, ya?" tanyanya kemudian.
Sebelum sempat sang bibi menjawab, muncullah seorang pria dengan rambut yang sudah memutih sebagian dari balik pintu dapur. Dengan tatapan penuh kasih sayang, ia berjalan mendekati Argha.
"Sudah pulang, Nak," sapanya hangat seraya mengulurkan tangan kanan ke hadapan Arvin.
Arvin menaikkan dua sudut bibirnya, menundukkan tubuh dan mengecup punggung tangan yang mulai renta.
"Papa kenapa belum tidur?"
Arvin kemudian mengisyaratkan kepada bibi untuk meninggalkan mereka. Lalu memberi kesempatan papanya bicara. Namun, pria tua itu hanya diam.
Sorot matanya sendu. Senyumnya tertahan tanpa mampu direkahkan. Sementara tangannya tampak menimang-nimang gelas berisi air putih.
"Pa ...." Sekali lagi, sembari membelai lembut pundak orang yang ia sayang. Arvin tahu persis apa yang akan papanya katakan kalau sudah seperti ini.
"Bagaimana keadaan mama kamu, apa ... masih marah?" Lelaki itu berucap dalam keraguan.
Tepat seperti yang Arvin duga. Papa menanyakan soal mama yang beberapa tahun silam pergi meninggalkan rumah.
"Kita duduk di sana, yuk, Pa." Ia menuntun lelaki itu ke arah sofa yang terletak di ruang tamu.
Di sinilah mereka, di atas sebuah sofa krem. Arvin meletakkan jubah putih kerjanya di atas meja, lalu bicara lagi.