"Too proud? Why? Enggak usah dibesar-besarkan yang namanya gengsi. Nanti kalau hilang, baru rindu."
——Syifa
∞
Semilir angin pagi merasuk hingga ke kalbu. Wanita paruh baya tampak duduk sendiri di depan teras rumah. Tubuhnya bertumpu pada kedua tangan yang ia tautkan di atas paha. Sesekali kepala mendongak, menatap langit yang tampak suram.
Pikirannya berkelana pada kejadian tadi malam. Untuk pertama kali, ia menyaksikan sendiri bagaimana derita perempuan yang ia sayangi seperti anak sendiri. Ia tak pernah menyangka anak itu benar-benar terluka.
Sekelebat bayangan masa lalu melintas dalam otaknya.
"Hei, anak cantik. Sedang apa kamu di situ?"
Bocah ingusan berseragam sekolah yang duduk sembari memeluk dua kaki, tampak ketakutan. Teresa tak sengaja melihatnya menyuruk di balik tumpukan kardus di dekat tong sampah pinggir jalan.
"Sini dekat saya. Saya bukan orang jahat, kok. Sini, Nak."
Teresa berbicara dengan nada yang sangat lembut agar bocah itu tak takut. Awalnya, ia tak memedulikan panggilan Teresa. Namun, perlahan hatinya luluh, lalu bangkit mendekat pada Teresa.
"Nama kamu siapa?" Ia melemparkan tatapan yang lebih hangat agar rasa takut si anak makin berkurang.
"C— Cipa, Tante," jawabnya terbata.
Rekahan tercipta di bibir Teresa, membuat anak bernama Syifa mulai nyaman. Ia lantas bertanya apa penyebab Syifa sampai bersembunyi di balik tempat sampah. Perlahan sang anak mulai bercerita. Kisah pilu itu membuat Teresa menekap mulut tak kuasa. Dalam benaknya, bagaimana bisa?
Ia kemudian berkata, "Nama saya Teresa Liane. Kamu mau ikut saya, ‘kan?"
Syifa mengangguk tak berdaya.