Pagi itu Luan mendapat telepon dari rumah pamannya. Pendaftaran kuliahnya di Universitas Yunseng telah diterima. Karena terlalu bahagia, dia mengabaikan suara ibunya yang berteriak dari meja makan.
“Stop, Luan! Kau membaut telinga kami jadi radiasi!” teriak ibunya.
Bukannya menjawab, Luan justru berlari memeluk ibunya. “Bu, aku diterima. Tadi, Paman Je menelpon, katanya lusa aku sudah bisa tinggal di apartemennya, khusus anak-anak kampusYunseng.
Kedua orangtua Luan bergeming, sama halnya dengan Razel. Mereka memandangi Luan dengan tatapan tidak percaya. Alih-alih bertanya, Razel justru terkesan meledek.
“Nona, berapa IQ-mu? Kenapabisa diterima?” Suara Razel menginterupsi Luan yang hendak duduk menikmati sarapannya.
“Big Brother, kau bisa jaga mulut? Kurasa pembersih lantai sudah lama tidak menyapa lidah busukmu itu, ya!” ketus Luan.
Razek gemas ingin mencubit pipi Luan yang gembil, tapi tidak dia lakukan karena ibunya sudah memberi isyarat untuk diam. Jika Razel berani membantah, dia tidak akan mendapat jatah makan.
Suasana di meja makan pagi itu terasa damai seperti biasanya. Luan memperhatikan semua keluarganya, dia akan merindukan suasana itu. Jarak rumah dengan kampusnya begitu jauh dan sulit untuk bisa pulang. Walau demikian, kedua orangtuanya tidak terlalu khawatir lantaran di sana ada paman dan bibinya.
“Yasudah, kalau begitu habiskan dulu sarapannya, kau butuh tenaga ekstra untuk bertengkar dengan kakak sepupumu ‘kan?” kata Ayah.
Luan menurut, dia duduk tepat di sebelah ibunya. Acara sarapan keluarga berlangsung khidmat. Tidak ada perdebatan kecil yang ditimbulkan oleh Razel dan Luan seperti biasaya.