Seana duduk di sudut ruang tamu rumah yang kecil, menatap dinding yang bocor di dekat jendela. Hujan deras mengguyur di luar, dan suara tetesan air yang merembes masuk menambah kesedihan suasana hatinya. Seana, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, memeluk adiknya, Dika, yang baru berusia enam tahun, dalam keheningan yang penuh ketegangan. Suara berdebum yang berasal dari ruang sebelah mengganggu kedamaian malam. Ayah mereka, Jono, sedang berteriak dengan marah.
"Mana uangmu, berikan padaku cepat!" teriak Jono, suaranya penuh dengan kemarahan dan alkohol. Dia berlari ke arah ibu mereka, Wulan, yang tampak lelah dan frustrasi. Jono menuntut uang yang telah dipinjamnya dari istrinya untuk keperluan judi. Matanya yang merah menatap penuh kebencian, dan tangannya yang gemetar meraih baju Wulan dengan kasar.
Wulan, yang sudah sangat lelah menghadapi perlakuan seperti itu, mendorong Jono dengan kekuatan yang tersisa. "Cukup, Jono! Aku tidak akan memberimu uang lagi! Cukup sudah, aku dan anak-anak tidak bisa terus hidup seperti ini," katanya, suaranya bergetar antara kemarahan dan keputusasaan. Tindakannya membuat Jono terhuyung dan akhirnya jatuh pingsan di lantai, terbaring tak bergerak. Wulan menatap suaminya dengan rasa campur aduk, dari kemarahan hingga rasa sakit.
Wulan menatap suaminya yang tergeletak di lantai dengan kemarahan dan kepedihan yang tak tertahankan. Dengan langkah tegas, dia berjalan ke kamar, derap langkahnya menggema di sepanjang lorong. Tanpa ragu, dia meraih tas kain besar dan mulai mengisinya dengan pakaian seadanya, seolah-olah berusaha melarikan diri dari kenyataan yang menyesakkan.
Seana, yang perlahan keluar dari kamarnya setelah mendengar perdebatan mereka mereda, melihat ibunya sedang bersiap untuk pergi. Hatinya mencelos, wajah mungilnya berubah pucat.
"Ibu, tolong jangan pergi!" seru Seana, suaranya penuh kepanikan. Dia berlari dan memegang lengan ibunya dengan erat, seakan takut kehilangan pegangan terakhirnya. Dika, yang mengikuti dari belakang, berdiri di samping Seana dengan mata berkaca-kaca. "Kami mohon, jangan tinggalkan kami!" pinta bocah kecil itu dengan lirih, suaranya pecah oleh tangis yang tertahan.
Wulan menatap anak-anaknya dengan hati yang hancur, merasa terpecah antara cinta dan keputusasaan. "Anak-anak, aku sudah tak sanggup lagi hidup seperti ini," ucapnya dengan suara serak yang dipenuhi luka. "Aku harus pergi... untuk mencari jalan yang lebih baik bagi kita semua." Dia menyeka air mata di pipi Seana, lalu menarik Dika ke dalam pelukan, memeluknya seakan tidak ingin melepaskan.
Seana hanya bisa memeluk erat adiknya, Dika, saat pintu tertutup di belakang kepergian ibunya. Air mata mengalir perlahan di pipinya, namun dia berusaha keras menahannya, demi Dika yang masih begitu kecil dan tak mengerti sepenuhnya apa yang baru saja terjadi.
"Kenapa Ibu tidak membawa kami?" gumamnya dalam hati, suara kecilnya hampir tak terdengar.
"Apakah Ibu benar akan kembali?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, mengisi setiap sudut pikirannya dengan ketidakpastian dan kepedihan yang tak terucapkan. Seana hanya bisa termenung, mencoba menenangkan diri demi adiknya yang menggantungkan segalanya padanya.