Seana mulai terbiasa dengan ritme kehidupan barunya di rumah Nenek Sari. Setiap pagi, sinar matahari lembut memancar melalui jendela dapur kecil, membanjiri ruangan dengan cahaya hangat. Nenek Sari sudah bangun lebih awal, memulai harinya dengan menyiapkan adonan kue dengan tangan yang terampil. Sementara itu, Seana dengan penuh semangat membantu, mengerjakan berbagai kue dengan bahan dasar ketan, santan kelapa, dan gula merah. Aroma harum kue yang baru dipanggang memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman yang jauh berbeda dari kekacauan yang mereka tinggalkan di rumah lama mereka.
Nenek Sari mengajarkan Seana cara membuat wajik, sebuah kue tradisional yang memerlukan ketelitian dan keterampilan. Meskipun usianya sudah lanjut, Nenek tetap cekatan dan penuh semangat, mengajarkan setiap langkah dengan sabar dan teliti. Seana mengikuti dengan penuh perhatian, menyerap setiap detail teknik yang diajarkan.
Di pasar, Seana perlahan-lahan mulai berkenalan dengan pedagang dan pelanggan setempat. Meskipun awalnya merasa canggung, ia mulai merasakan kehangatan dari komunitas yang menerima mereka. Setiap hari, ia belajar cara berinteraksi dengan pembeli, mendengarkan cerita mereka, dan terkadang bertukar tawa. Kepuasan dari proses sederhana ini mulai memberikan rasa bangga pada Seana, meskipun tidak ada jaminan besar, dia merasa menemukan makna dalam usahanya.
"Berapa harga satu kue?" tanya seorang pelanggan, sambil menatap etalase kue.
"Per satu kue harganya 2.500, kalau beli empat harganya cuma 8.000," jawab Seana, tersenyum ramah.
"Saya ambil empat," kata pelanggan tersebut.
Seana segera mengemas kue-kue itu dan menerima pembayaran dengan penuh rasa syukur. Meskipun awalnya sulit, Seana menghadapi tantangan beradaptasi dengan rutinitas baru dan tuntutan pekerjaan. Dia sering merasa kelelahan, tetapi berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya. Seiring berjalannya waktu, Seana mulai merasa lebih nyaman dengan tanggung jawab barunya. Dia mulai mengenal pelanggan tetap di pasar dan menikmati momen-momen kecil dalam hari-harinya yang baru.
Dagangan hampir habis, dan Seana, yang mendekati usia remaja, mulai merasa bosan dengan rutinitas sehari-harinya. Ia melihat seorang pengamen mendekati gerainya sambil bernyanyi dengan mikrofon, dan dorongan keingintahuan membuatnya memutuskan untuk mendekat.
"Pak, bolehkah aku meminjam mikrofonnya sebentar? Aku ingin mencoba," tanya Seana dengan berani.
Pengamen tersebut tersenyum dan mengangguk, menyerahkan mikrofon kepada gadis itu. Seana mulai menyanyi dengan perlahan, awalnya tanpa percaya diri, namun segera suara merdunya mulai menarik perhatian. Semangatnya tumbuh seiring dengan lirik yang ia lantunkan, dan rasa percaya dirinya semakin menguat.
Beberapa orang yang mendengar mulai berkumpul, bertepuk tangan mengikuti irama lagu, memberikan dukungan kepada Seana. Semangatnya semakin menyala, dan ia menyelesaikan lirik terakhir dengan penuh keyakinan. Tepuk tangan dari pengunjung pasar menggema, merayakan penampilan Seana yang mengesankan.
Senyuman Seana semakin lebar saat seseorang memuji, "Suara kamu benar-benar bagus."
Banyak orang memberikan uang kepada pengamen sebagai bentuk apresiasi, meskipun yang menyanyi adalah Seana. Pengamen itu mengungkapkan terima kasih yang mendalam kepada gadis tersebut, merasa bersyukur atas momen yang telah dihadirkan Seana.
Aktivitas di pasar kembali berjalan seperti biasa, namun Nenek Sari terus-menerus memuji bakat menyanyi Seana dengan penuh kekaguman.
Tiba-tiba, seorang pria dengan logat kota yang khas mendekati gerai mereka dan memberikan sebuah kartu nama. "Kamu yang bernyanyi barusan, kan?" tanyanya, tatapan matanya menilai Seana dengan penuh minat.
Seana, yang menyadari bahwa pria tersebut bukan berasal dari daerah ini, hanya mengangguk sebagai jawaban.
Pria itu tersenyum dan menyerahkan kartu namanya kepada Seana. "Jika kamu tertarik, aku bisa membantumu untuk menjadi penyanyi. Hubungi saja nomor ini jika kamu tertarik ya," ujarnya, menawarkan kesempatan yang menggugah.
Seana, merasa kikuk dan sedikit terkejut, hanya mampu mengangguk.
Setelah membeli beberapa kue dari gerai Nenek Sari, pria itu berpamitan dan pergi. Seana menatap kartu nama di tangannya dengan penuh rasa penasaran, pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan yang baru saja muncul.
Cahaya senja mulai memudar, menandakan waktu bagi para pedagang untuk merapikan sisa-sisa dagangan dan bersiap pulang. Seana dan Nenek Sari pun tak ketinggalan, dengan lincah Seana membantu neneknya yang sudah tampak kelelahan setelah seharian bekerja.
"Biar aku saja, Nek," kata Seana sambil mengangkat beberapa kotak yang hendak diangkat oleh Nenek Sari. Wanita tua itu hanya tersenyum lembut dan mengangguk, merasa lega dengan bantuan dari cucunya yang penuh perhatian.
Beberapa menit kemudian, semua pekerjaan sudah selesai. Seana menghampiri Nenek Sari, siap untuk mengajak pulang. Ia tahu, Dika pasti sudah menunggu di rumah, seharian tanpa ada yang menemani.
Perjalanan pulang mereka tempuh dengan berjalan kaki, langkah-langkah mereka teratur namun tak ada sepatah kata pun yang terucap. Pikiran Seana masih dipenuhi oleh tawaran pria yang ditemuinya tadi di pasar. "Benarkah aku bisa menjadi artis ibukota?" batinnya berkecamuk.