Symphony After the Storm

Natasya Regina
Chapter #3

3. Keputusanku Sudah Benar?

Sebelum fajar menyingsing, Nenek Sari sudah terbangun dan memulai rutinitasnya untuk menyiapkan jajanan yang akan dijual pagi nanti. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju kamar Seana dan Dika. Di dalam kamar, ia menemukan Seana tertidur pulas di kursi, kepala terkulai di atas meja.

Dengan lembut, Nenek Sari mengusap rambut cucunya sebelum melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Beberapa jam kemudian, ayam berkokok nyaring, menandakan pagi telah tiba. Seana terjaga dengan terkejut, matanya membelalak saat melihat jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi.

Seana segera berlari ke dapur, "Nenek, maaf, aku telat," ucapnya penuh penyesalan.

Nenek Sari hanya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Seana. Kamu mandi dulu, ya. Setelah itu, bantu nenek menata jajanan," katanya penuh pengertian.

Seana mengangguk dan buru-buru menuju kamar mandi, membersihkan dirinya dengan cepat. Di luar, udara pagi yang dingin dan berembun menyambutnya saat ia bergegas kembali ke dapur untuk membantu neneknya menyiapkan dagangan.

Tiba-tiba, Nenek Sari memecah keheningan pagi dengan suara lembutnya. "Seana, jika kamu ingin menerima tawaran kemarin, tidak masalah," ujarnya, memberikan izin yang tidak terduga.

Seana menatap neneknya dengan terkejut. Nenek Sari telah melihat lirik lagu yang ditulis Seana dan merasa harapan besar dalam diri cucunya untuk menjadi penyanyi.

"Benar, Nek?" Seana memastikan, rasa gembira mulai terlihat di wajahnya.

Nenek Sari mengangguk dengan penuh keyakinan. Melihat respons tersebut, Seana tidak dapat menahan senyumnya yang merekah. "Terima kasih, Nek. Aku akan membantu Nenek menyiapkan semuanya dulu, dan setelah itu aku akan menghubunginya," ujar Seana dengan semangat baru.

***

Seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu rumah usang yang terlihat berserakan. Dengan penuh kesabaran, ia mengetuk pintu berulang kali, namun tidak ada jawaban dari dalam.

"Pak, permisi!" teriaknya kepada seorang pria yang kebetulan lewat di dekat situ.

Pria itu berhenti dan menoleh. "Ada apa?"

"Apakah Anda tahu ke mana pemilik rumah ini pergi?" tanya wanita itu, berharap pria tersebut mengetahui informasi yang dibutuhkan.

Pria itu menggeleng. "Saya tidak tahu pasti, tapi sepertinya pemilik rumah ini sudah pergi. Hanya suaminya yang tinggal di sini, sementara istrinya dan anak-anaknya sudah pergi entah ke mana."

Wanita itu mengernyit, merasa bingung. "Lha Ibu sendiri siapa?" tanya pria itu, penasaran.

"Saya guru Seana, dan saya berharap bisa bertanya kepada wali tentang kondisi murid saya," jelas wanita itu.

Pria itu hanya mengangguk mengerti. "Terima kasih atas informasinya, Pak. Maaf mengganggu waktunya," ujar wanita itu sebelum pria itu pergi.

Setelah pria itu pergi, wanita itu kembali menatap pintu tersebut dan mencoba membukanya. Tidak terkunci. Dengan rasa ingin tahu, ia memaksa pintu terbuka. Begitu pintu terbuka, aroma alkohol menyengat hidungnya, berasal dari ruangan kumuh di dalam.

Matanya tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai, dikelilingi oleh cairan merah yang mencemari lantai. Wanita itu terkejut dan langsung berteriak, panik melihat keadaan pria itu. Ia segera berlari keluar untuk meminta bantuan dari warga sekitar.

Tak lama kemudian, warga berdatangan dan mengecek kondisi pria yang tergeletak itu. Setelah memeriksa, mereka memastikan bahwa pria tersebut, Jono, masih hidup.

Ambulans segera datang untuk menjemput Jono dan membawanya ke rumah sakit, berharap kondisi pria itu dapat segera ditangani dengan tepat dan cepat.

***

"Kak, aku ikut ya," seru Dika sambil menghampiri kakak dan neneknya yang sedang bersiap untuk pergi ke pasar. Ia masih mengucek matanya, terlihat belum sepenuhnya terjaga.

Seana tersenyum dan mengangguk. "Tapi mandi dulu ya," pintanya lembut.

Dika mengangguk setuju dan segera berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Seana dan nenek Sari menunggu dengan sabar, menikmati momen pagi yang tenang.

Lihat selengkapnya