Symphony After the Storm

Natasya Regina
Chapter #4

4. Bukankah Terlalu Cepat?

Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di pasar yang melelahkan namun memuaskan, Seana bersama nenek dan adiknya pulang pada sore hari yang cerah. Langit perlahan berubah warna menjadi jingga, segera menyambut malam yang akan datang.

Hari ini terasa secerah perasaan Seana yang penuh antusiasme, membayangkan suatu saat nanti menyapa seluruh negeri dengan suara indahnya.

Tiba-tiba, ponsel jadul nenek berbunyi, menarik perhatian Seana. Nenek dengan cepat membuka pesan singkat yang masuk, yang berisi gambar kiriman melalui MMS.

Dengan penuh rasa ingin tahu, Seana melihat gambar yang ditampilkan oleh nenek. Dan, seketika senyum Seana mengembang saat menyadari isi gambar tersebut.

"Tiket pesawat!" seru Seana dengan gembira. "Nek, ini tiket pesawatku!" Senyuman tak lepas dari wajahnya, menyiratkan kebahagiaan yang mendalam. Mereka bertiga merasakan kegembiraan sore itu, berbagi kebahagiaan yang menyentuh hati.

“Kapan berangkatnya?” tanya Nenek Sari dengan antusias, matanya bersinar penuh harapan.

“29 Juli, Nek. Nanti antar aku ke bandara Adi Soemarmo, ya. Aku terbang jam 11,” jawab Seana, wajahnya berkilau dengan semangat.

Nenek Sari mengangguk, senyumnya mengembang penuh haru. Cucunya akan terbang ke ibukota untuk meraih mimpinya, dan kebanggaan serta dukungan nenek begitu jelas terlihat. Mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan hati yang berbunga-bunga.

Setibanya di rumah, Seana segera menyetel kaset-kaset koleksi neneknya dan mulai menyanyikan lirik-liriknya, berlatih keras untuk mempersiapkan diri. Wanita tua itu memandang cucunya dengan penuh kebanggaan sambil menyajikan teh hangat untuk mereka bertiga.

“Sudah-sudah, Seana, istirahat dulu. Nanti suaramu bisa habis kalau terus-terusan bernyanyi,” ujar Nenek Sari dengan lembut.

“Iya, Nek,” jawab Seana, lalu mereka duduk bersama dan menikmati teh hangat itu.

“Kakak kenapa sih dari tadi?” tanya Dika penasaran, matanya cerah menatap kakaknya.

“Kakak akan jadi artis!” jawab Seana dengan penuh kegembiraan.

Dika langsung berseri-seri mendengar kabar tersebut. “Beneran, Kak?”

Seana mengangguk dengan mantap. “Iya! Nanti kalau Kakak pulang bawa uang banyak, kita bertiga bisa jalan-jalan keliling dunia!”

Dika tidak sabar dan meminta, “Janji ya, Kak?”

Seana mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking mungil Dika. “Janji!” Mereka saling berpelukan, menciptakan suasana hangat yang menghibur dan menyentuh hati Nenek Sari, yang tersenyum penuh kebahagiaan melihat pemandangan indah tersebut.

***

Pagi yang telah menjemput hari sebelumnya kini menyapa dengan cerah. Gedung putih rumah sakit, dengan aroma khas disinfektan dan obat-obatan, menyambut kedatangan para pasien baru yang mulai berdatangan pagi ini.

Beberapa pasien menjalani pemeriksaan harian mereka dengan tenang, sementara di sisi lain, pihak rumah sakit masih belum menerima kabar dari keluarga Jono, pasien yang tengah dirawat.

Jono, meski memerlukan perawatan lebih lanjut, terpaksa harus meninggalkan rumah sakit. Tanpa adanya kerabat yang dapat dihubungi dan tanpa kemampuan membayar biaya perawatan, Jono tidak memiliki pilihan lain. Rumah sakit harus memulangkan pria itu karena ketidakmampuannya untuk melanjutkan pembayaran dan tidak adanya program bantuan biaya yang dapat menutupi tagihannya.

Dengan jahitan yang masih basah dan rasa kesal yang menggelora, Jono meninggalkan rumah sakit tanpa sepatah kata perpisahan yang layak. "Lihat saja nanti, rumah sakit ini bakal sepi! Masa ada pasien yang belum sembuh sudah disuruh pulang!" teriaknya di luar gedung, suaranya penuh kemarahan.

Lihat selengkapnya