Symphony After the Storm

Natasya Regina
Chapter #5

5. Sepertinya Tidak Mungkin

"Ya begitulah dulu," ucap wanita yang kini dikenal dunia. Di ruang studio yang dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih, ia duduk di depan kamera, siap untuk merekam bagian dokumenter yang menceritakan perjalanan hidupnya.

Meskipun dalam sorotan kamera dan lampu-lampu yang menyilaukan, wanita 21 tahun itu tetap terlihat tenang. Ia memulai ceritanya dengan menyelami masa lalu, saat ia masih seorang gadis muda dengan impian besar dan hati yang penuh harapan. Dunia luar mungkin hanya melihat versi dirinya yang glamour, namun di balik itu semua, ada kisah perjalanan yang panjang dan berliku.

"Pada awalnya, saya hanyalah seorang gadis kecil dari sebuah kota kecil," katanya, suaranya penuh rasa. "Di usia muda, saya sering berlatih menyanyi di rumah, bahkan saat keadaan sulit. Keluarga saya yang selalu mendukung saya, meskipun kami hidup dalam keterbatasan."

Dengan tatapan penuh makna, ia melanjutkan, "Ada saat-saat ketika saya merasa semua usaha saya sia-sia. Saya ingat satu kejadian khusus ketika saya hampir kehilangan kesempatan besar. Tapi itu juga momen yang mengajarkan saya banyak hal, sampai bisa debut di usia 15 tahun,"

Dalam kilasan gambar yang ditampilkan di layar, penonton melihat bagaimana wanita itu saat masih remaja muda berlatih di studio, berlatih dengan penuh semangat dan harapan meskipun banyak rintangan. Suara nyanyiannya yang penuh emosi meresap melalui setiap lirik, mengungkapkan perjalanan batinnya.

"Namun, semua itu merupakan bagian dari proses. Setiap tantangan yang saya hadapi adalah bagian dari perjalanan panjang untuk menjadi seperti sekarang. Kadang-kadang, saya bertanya-tanya apakah impian ini akan terwujud, tetapi kemudian saya ingat betapa pentingnya untuk terus maju, meskipun tidak ada jaminan."

Kamera menyorot ekspresi wajah wanita itu yang penuh refleksi, menyoroti transformasi dari seorang gadis dengan mimpi sederhana menjadi seorang artis global yang dikenal dan dicintai di seluruh dunia. "Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana saya bisa sampai di sini. Jawabannya sederhana—kerja keras, ketekunan, dan dukungan orang-orang yang saya cintai."

Seorang anggota tim produksi bertanya dengan rasa ingin tahu yang mendalam, "Benarkah lagu-lagu Anda adalah ciptaan sendiri? Dan bagaimana pasar musik Anda bisa menembus hingga ke tingkat global, sehingga turut membuat musik Indonesia lebih dikenal di seluruh dunia?"

Wanita itu memandang dengan senyuman lembut yang penuh kenangan. Ia memulai jawabannya dengan nada nostalgia, "Sebenarnya, aku sendiri juga awalnya tidak tahu bagaimana. Tapi, waktu itu, ada satu momen saat seorang penyanyi luar negeri bawa salah satu lagu saya, yang kebetulan lagu debutku, dalam versi bahasa mereka sendiri. Kayaknya itu alasannya."

Dia melanjutkan, dengan nada reflektif, "Ketika lagu-lagu saya mulai diputar dan dibahas dalam berbagai bahasa, banyak orang yang mulai mencari tahu tentang lagu asli dan penciptanya. Jadi itu yang bikin tembus chart musik, dan memicu ketertarikan lebih luas dari pasar musik global. Tidak ada rencana besar, hanya kebetulan dan dukungan dari berbagai pihak yang membuat semuanya terjadi."

Dalam balutan cahaya studio, setiap kata yang diucapkan wanita ini seakan membawa penonton pada perjalanan tak terduga dari seorang musisi yang sederhana menjadi ikon global. Senyum hangat di wajahnya menggambarkan betapa bersyukurnya ia atas perjalanan tersebut, yang awalnya hanya merupakan hasil dari keberuntungan dan bakatnya yang murni.

***

Seana duduk termenung di belakang gerai, menonton acara dokumenter tentang seorang selebriti terkenal di televisi milik gerai sebelahnya. Fokusnya terganggu ketika seorang pelanggan mendekat dan memecah keheningan sore itu.

“Mbak, ini berapa?” tanya pelanggan sambil menunjuk ke tape ketan yang terletak di meja.

“Oh, itu dua ribu, Kak,” jawab Seana dengan cepat, sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaan.

Sementara itu, Dika muncul dari arah gerai tak jauh dari tempat mereka berjualan, membawa dua gelas es teh yang baru dibelinya. “Kak, ini,” katanya sambil menyerahkan satu gelas kepada Seana. Seana menerima minuman dingin itu dengan senyuman.

Lihat selengkapnya