Setelah semalaman merenung dengan mendalam, Seana akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan neneknya pagi itu. "Nek," panggilnya lembut.
Nenek Sari, yang tengah sibuk membuat kue-kue tradisional, hanya melirik sejenak sambil terus bekerja. "Aku... mau sekolah," lanjut Seana dengan penuh harapan.
Wajah nenek seketika bersinar dengan kebahagiaan. Dia meletakkan pekerjaannya dan segera mengalihkan perhatian pada cucunya. "Nenek tidak akan jualan hari ini?" tanya Seana, sedikit terkejut.
"Nanti sore saja," jawab nenek sambil tersenyum, "Sekarang, ayo kita siapkan semua, Nenek akan antar kamu ke Sukoharjo untuk mengurus dokumen pindahanmu."
Dengan semangat baru, mereka mulai bersiap-siap. Dika, yang tak ingin melewatkan kesempatan, juga bergabung. Sementara Seana tengah mempersiapkan barang-barangnya, nenek keluar untuk menemui tetangganya. Ia menyewa mobil dan meminta bantuan tetangganya untuk menjadi sopir mereka dalam perjalanan ke Sukoharjo.
Dengan tekad yang membara, Seana merasa siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Nenek Sari, penuh kebanggaan dan harapan, mengantar cucunya ke Sukoharjo. Di sana, mereka mengurus surat pindah sebelum mendaftar di SMP swasta 'SMP Putra Bangsa' di Klaten, sekolah yang menawarkan biaya lebih terjangkau.
Di ruang wali kelas, Seana berdiri dengan gugup saat gurunya bertanya, "Kenapa Seana ingin pindah?"
"Saya sekarang tinggal di sana, Bu," jawab Seana, menunduk malu tanpa berani menatap wajah gurunya.
Wali kelas menatapnya dengan empati dan melanjutkan, "Kemarin, Ibu ke rumah kamu. Namun, rumah kamu sepi. Ternyata, Bapak kamu dalam keadaan terluka dan terpaksa dibawa ke rumah sakit karena kepalanya perlu dioperasi ringan."
Seana hanya mendengarkan dengan tatapan kosong. Kabar tentang bapaknya tidak lagi mempengaruhi perasaannya. Ia tidak peduli lagi dengan hidup bapaknya yang hanya membawa penderitaan. Setelah semua urusan dokumen selesai, mereka kembali ke Klaten dengan hati yang penuh harapan dan rasa lega.
Di kantor sekolah, Seana menerima panduan tentang cara mendapatkan beasiswa, yang memberinya sedikit harapan untuk meringankan beban finansial. Sampai keesokan harinya, di pagi yang cerah, Seana melangkah memasuki kelas baru di hari pertama semester akhir kelas 8, menjelang peralihan ke kelas 9. Meskipun ia masih merasa cemas tentang masa depan, kehadiran teman-teman baru di sekolah memberikan sedikit rasa lega.
Dengan beasiswa yang diterimanya, Seana merasa lebih ringan dari segi biaya, tetapi dalam benaknya, ia terus memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang tambahan. Tekadnya untuk membantu neneknya dan menjaga kesejahteraan mereka tetap menyala, mendorongnya untuk mencari cara-cara baru dalam menghadapi tantangan yang ada di depannya.
Seana melangkah memasuki kelas barunya dengan hati berdebar, didampingi oleh wali kelas. "Selamat pagi, murid-murid. Hari ini kita kedatangan seorang teman baru. Dia pindahan dari Sukoharjo," ucap wali kelas dengan nada ramah sambil memperkenalkan Seana kepada seluruh kelas. "Silakan, Seana, perkenalkan dirimu." Wali kelas mempersilahkan Seana, lalu ia berpamitan pergi.
Dengan sedikit rasa gugup, Seana berdiri di depan kelas dan berkata, "Hai semuanya. Nama aku Seana." Suaranya terdengar lembut namun tegas, berusaha mengatasi rasa cemasnya.
Para siswa menyambut dengan sapaan hangat, dan Seana pun diarahakan menuju bangku kosong yang terletak di bagian belakang kelas. Setelah duduk, ia mulai menyiapkan buku dan alat tulisnya, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Tak lama setelah Seana duduk, pembelajaran dimulai. Pelajaran hari itu dimulai dengan hikmat, namun tanpa diduga, ulangan harian tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seana merasa sedikit tertekan karena ini adalah hari pertamanya di kelas baru, dan ia belum familiar dengan materi yang akan diujikan.