Di akhir semester, saat musim kenaikan kelas mendekat, para siswa-siswi menerima rapor mereka, termasuk Seana. Setiap orang memeriksa nilai-nilai mereka dengan berbagai ekspresi, dan meskipun hasilnya terasa seragam, mereka semua tahu bahwa tahun ajaran baru akan menuntut usaha lebih keras sebelum mereka melangkah ke jenjang berikutnya di bangku putih abu-abu.
Kehidupan Seana tampak semakin stabil seiring berjalannya waktu. Ia kini menjalani rutinitas yang mirip dengan anak-anak seusianya. Pagi hari hingga siang dihabiskan di sekolah, sementara sore hari, setelah pulang sekolah, ia menyisihkan waktu untuk melakukan hal yang sangat disukainya: menulis lagu.
Di sebuah sore yang tenang, Seana duduk termenung di mejanya, memandang secarik kertas putih di hadapannya. Tatapannya yang dalam menunjukkan betapa seriusnya ia merangkai huruf demi huruf menjadi bait-bait lagu ciptaannya.
Meski pengalaman pahit pernah menyapanya dalam perjalanan musiknya, semangat Seana untuk menulis lagu tidak pernah surut. Ia mengambil selembar kertas usang dari dalam laci meja, di mana tertulis bait-bait lagu pertamanya yang sudah lama ia tulis. Dengan penuh perhatian, ia mencoret beberapa lirik lama dan menggantinya dengan kata-kata yang lebih baik, berusaha memperbaiki karya tersebut.
“Lost Girl,” ucapnya pelan, menuliskan judul lagu itu di bagian atas kertas, seolah memberikan kehidupan baru pada karya yang sudah lama ia cintai.
Tak lama setelah Seana tenggelam dalam pikirannya, Nenek Sari memasuki kamar gadis itu dengan lembut, sambil menanyakan apakah Seana sudah makan atau belum. Namun, sebelum neneknya sempat mendengarkan jawabannya, Seana mengalihkan perhatian, "Nenek, liburan sekolah dua minggu ke depan, aku mau bantu Nenek jualan di pasar lagi. Boleh, ya?"
Nenek Sari melangkah mendekat, mengulurkan tangan lembutnya untuk membelai kepala Seana dengan penuh kasih sayang. "Nduk, sebaiknya kamu istirahat dulu atau bermain dengan teman-temanmu. Kamu masih muda, nikmati waktu luangmu selagi ada," pesan neneknya dengan nada penuh pengertian.
"Tapi, Nek—" Seana mencoba membantah, namun Nenek Sari sudah memotongnya dengan lembut.
"Nduk, ayo makan dulu. Jangan khawatir tentang hal lainnya. Kita bisa berbicara sambil makan," ajak Nenek Sari, lalu melangkah keluar diikuti oleh Seana yang dengan enggan mengikuti langkahnya.
Mereka duduk bersama di meja makan seperti biasa, menikmati hidangan sederhana sambil bertukar cerita. Suasana hangat dan akrab terasa di antara mereka, seiring dengan cerita-cerita kecil dan tawa ringan yang mengisi suasana makan malam mereka.
Nenek Sari dan adik kecil Seana, Dika, saling bertukar pandang dengan senyum lebar dan tawa kecil yang membuat Seana penasaran. "Ada apa? Kenapa kalian ketawa?" tanya Seana, bingung dengan reaksi mereka.
Dika kemudian mengambil sebuah kotak dari kolong meja makan dan dengan ceria memberikan kotak tersebut kepada Seana. "Tara!" serunya sambil mengulurkan kotak tersebut.