Symphony of Memories

Ang.Rose
Chapter #4

#4

Seminggu berlalu, Charlie tidak kunjung siuman, memang kondisinya jauh lebih baik, dia sudah bisa bernafas dengan spontan, ventilator pun sudah dimatikan, kondisinya jauh lebih stabil, namun dia tidak kunjung siuman.

Sepertinya, apa yang ditakutkan oleh Hans, Richard ataupun semua dokter yang mengoperasinya terjadi, kemungkinan Charlie untuk siuman sekarang hanya 50%, mungkin itu terdengar banyak untuk sebagian orang, tapi bagi dokter, itu adalah presentase yang kecil.

50% dia bisa siuman, 50% dia tidak akan bangun, 50% dia bangun tanpa ingatan, 50% dia bangun dengan setengah ingatannya atau 50% dia akan bangun dengan semua ingatan. Semua orang menunggu seakan mereka sedang berjudi dengan takdir.

Setelah beberapa kali bicara, baik Ben, Patrick, Richard dan Emily, mereka mencapai sebuah keputusan bahwa mereka akan mengikuti keinginan Charlie. Yakni keruntuhannya, tidak ada lagi Ccas dan itu artinya tidak ada lagi Charlie Cassarendra yang dikenal orang banyak.

Ccas dilebur ke perusahaan milik Owen, kakak Ben. Ben juga memindahkan perusahaannya di London ke Los Angeles, dan karyawan di London dialihkan ke Turner Grup di London, asistennya Blake yang mengurus semuanya.

Orang lain mungkin bingung mengapa mereka seakan mudah sekali melakukan hal ini bahkan hanya dalam kurun waktu seminggu, namun nyatanya sebenarnya tidak. Charlie sudah beberapa kali bertemu dengan Owen dan keluarga Ben untuk mendiskusikan hal ini.

Baik Owen maupun keluarga Turner sudah mempersiapkan semuanya, seakan mereka adalah bagian dari surat wasiat Charlie dan orang ini seakan sudah siap mati. Hal ini yang membuat Ben dan Patrick beberapa kali tidak percaya.

Dengan pergerakan yang cukup cepat dan padat, Ben terlalu fokus kepada masalah perusahaan hingga melupakan satu hal yang Charlie minta padanya. Dia harus menjaga Samantha itu adalah hal yang terpenting untuk Charlie karena ketika dia dalam bahaya itu artinya Samantha pun juga dalam bahaya.

Namun, bagaimana caranya bisa memikirkan orang lain ketika Charlie belum lolos dari maut.

Fokus mereka saat ini adalah Charlie, mereka semua bergantian menjaga di ICU, tidak ada satupun yang pulang ke rumah kecuali Patrick. Ben keluar dari rumah sakit hanya untuk mandi dan mencari makan.

Hari ini mereka sedang berada di ruangan Richard untuk makan siang, para perawat ICU memasak mereka bertiga untuk keluar dari sana sesekali, bahwa mereka sudah terlalu sering disana, para perawat dan dokter yang menjaga hanya ingin mereka bernafas untuk sebentar.

Namun, entah ini merupakan rencana Tuhan atau tidak, setelah mereka selesai makan siang. Tiba-tiba…

Code blue! Code blue! ICU Room. ICU Room.

“Dad? Is that?”

“Charlie!”

Richard, Ben dan Patrick pun berlari menuju ruang ICU, Emily pun yang baru selesai operasi langsung berlari ke ruang ICU, Charlie sudah di rebahkan oleh dokter, dia kembali diintubasi dan dokter sudah melakukan CPR terhadapnya.

Emily berjalan mendekat ke dokter residen yang sedang memompa jantung Charlie, Richard yang melihat hal itu menarik istrinya menjauh.

“Apa yang kau lakukan!?” teriak Richard.

“Kau yakin ini keputusan yang tepat!?” jawab Emily.

“Kondisinya membaik sejak seminggu yang lalu, Em. Ini bukan berarti dia menyerah.”

“Tapi dia kesakitan!”

“Iya, sangat, kita tahu dari laporan Hans, dia dipukuli. Tapi aku percaya dia akan pulih, dia anak kita, dia jauh lebih kuat dari siapapun dan kau pun tahu itu. Jangan menganggap remeh Charlie.”

“Kalau dia sampai koma, kita tidak punya harapan lagi Richard.”

“Dia akan melewatinya, meskipun nanti dia koma, selama dia belum mati, aku tidak akan menyerah.”

Richard memeluk Emily dan kembali membawa dia masuk ke dalam ruangan Charlie, mereka adalah keluarga dokter  mereka tahu bahwa mereka tidak boleh mengganggu proses dari penyelamatan, yang diharapkan oleh Emily sekarang hanyalah, anaknya tidak masuk ke dalam fase koma dan mati otak.

“ROSC,” ucap sang dokter, “he’s back.”

Akhirnya 4 orang itu bisa bernafas, setidaknya untuk sekarang. Emily mendekat dan meraih tangan Charlie. “Come back to me my baby, I don’t want anything else, just come back to me.”

***

Mungkin inilah yang dinamakan doa seorang ibu, Charlie perlahan-lahan mulai membaik bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Kondisi vitalnya mulai meningkat, Charlie juga sudah bisa dipastikan bisa dipindahkan dari ruang ICU.

Emily tidak pernah meninggalkan anaknya selain untuk rawat jalan, operasi atau pun panggilan darurat, begitu pula dengan Richard, kedua orang tua itu bergantian menjaga anak mereka, sedangkan Ben dan Patrick semenjak kondisi Charlie sudah dinyatakan membaik.

3 hari berlalu akhirnya Charlie pun sadar dari tidur panjangnya yang hampir 2 minggu lamanya. Berita baik ini pun tersebar ke seluruh rumah sakit dan Ben serta Patrick pun langsung kembali ke rumah sakit.

“Dia sudah sadar?”

“Hmm, Emily yang memberitahuku,” ucap Ben.

“Oke, aku akan kesana, aku tidak ada operasi hari ini, besok aku pergi lagi ke UN.”

“Okeh, jetku ada disana.”

“Tenang saja aku masih bisa naik penerbanangan biasa.”

“Just take it. It’s fastest if you take that.”

“Alright.”

Ben mematikan panggilan tersebut lalu masuk ke dalam ruang rawat Charlie, dan ketika dia melihat temannya itu sudah setengah duduk walau dengan wajah yang lemas, anak itu masih tersenyum sampai akhirnya dia memeluk sahabatnya itu. Begitu pula dengan Patrick, mereka bertiga berpelukan seakan sudah tidak bertemu puluhan tahun.

“Look who’s back from the dead!” Ben tidak bisa menutupi bagaimana dia begitu bahagia melihat sahabatnya kembali dalam keadaan hidup.

“I’m not dead. Then why were you here? We still have a lot of work to do, right?”

Lihat selengkapnya