Ini merupakan chapter pilot, dimana chapter ini akan menggambarkan garis besar apa yang terjadi kepada kedua tokoh utama. Arion dan juga Elara. Chapter ini akan menjadi patokan, cerita akan dilanjutkan atau tidak.
*
Selamat menikmati.
Symphony of Scars
***
"Aku di Blok-M tan," ucap Arion sambil memasang receiver In Ear Monitor dan memakai headsetnya dan bersiap untuk naik ke atas panggung.
"Kamu pulang ke studio lagi?" tanya sang Tante dari panggilan tersebut.
"Iya kayaknya, daripada ke rumah, ini selesainya malem pasti, Tante istirahat aja gak usah nungguin aku ya."
"Kamu yakin?"
"Iya, udah tidur aja, ntar aku kirimin foto di atas panggung."
"Oke, foto sekarang aja biar tante bisa update status."
"Siap, nih aku poto sekarang," Arion mengarahkan layar ponselnya dan mengambil fotonya sendiri dengan kamera depan lalu mengirim foto tersebut kepada sang tante. "Udah tuh, ganteng gak?"
"Hmm," sang Tante terdengar seperti sedang menilai penampilan Arion yang memakai kaos hitam, celana jeans hitam dan juga rambut yang setengah basah. "Kamu kayak kucing baru disiram tetangga deh."
"Ya, Tuhan—"
"Rhino ayo ke backstage, yang didepan udah mau selesai," sang Stage Manager acara itu menghampiri Arion untuk membawanya ke panggung.
"Tan udah ya, aku harus naik panggung, bye, tidur yang cukup."
"Ya babye sayang, have fun manggung-nya."
Arion Kael atau yang dikenal sebagai Arion "Rhino" Kael, merupakan musisi indie yang sedang naik daun. Dengan nama panggung yang diketahui banyak orang sebagai Rhino. Sepanjang yang dia ingat dia hanya tinggal bersama dengan tantenya, Juliana.
Arion tidak bisa mempercayai orang lain selain dia, ibunya pergi dari Jakarta hanya membawa sang adik, dia tahu adiknya tidak salah, tidak ada yang salah disini, tapi ketika dia membutuhkan sosok ibu sebagai pegangan setelah sang ayah tiada, dia justru meninggalkan Arion sendirian di tempat yang tidak dia kenal.
Jika tidak ada tante Juliana, Arion tidak tahu apa yang harus dia lakukan yang dia tahu bahwa tantenya berjuang keras untuk menggantikan posisi ibunya, mencintai dia sepenuh hati walau Arion tidak pernah merasa lengkap.
"Ini dia, Rhino!"
"Rhino! Rhino! Rhino!" teriak gemuruh dari penonton pun bergemuruh terdengar hingga ke backstage.
Arion tersenyum mendengar teriakan dari para penonton itu, membuat level dopamin-nya naik secara singkat. Dia terus membuat musik bukan tentang dia mencinta musik layaknya musisi sejati, musik adalah cara dia untuk marah pada dunia, pada sang ibu dan keadaan.
Bersama dengan gitar kesayangannya, dia naik dan melantunkan nada-nada keras dan lirik yang menusuk hati. Seluruh kemarahan dan frustasinya kini dia keluarkan. Arion menyelesaikan panggungnya malam itu, dia sudah bersiap untuk melempar pik gitar seperti ritualnya selama ini.
Namun, para penonton seakan tidak ingin pergi.
"Encore! Encore! Encore!"
Sebagai penampil penutup hari itu, dan sebagai musisi yang paling ditunggu-tunggu membuat para penonton tidak rela hanya mendengar 2 lagu dari Arion.
"Mau encore!?" tanya Arion.
"Encore!!"
Para penonton masih terus berteriak meminta encore, Arion pun berjalan ke pinggir panggung dan kembali bicara dengan Stage Manager. "Bisa gak? Kalau gak bisa gue turun."
"Gak papa masih oke tapi cuma 1 lagu ya, No."
"Oke, thanks."
Walau lagunya penuh amarah dan kebencian, namun Arion masih mencoba untuk tetap sopan jika lawannya bicara juga sopan terhadapnya.
"Guys, kita boleh encore, tapi satu lagu ya. Ada yang ikut live semalem?" ucap Arion dari atas panggung.