Symphony of Scars

Ang.Rose
Chapter #2

#01



“Tetep mas, aku gak merasa aku layak untuk itu. Untuk berkarya di luar batasanku, di luar kotakku.”


Kata-kata perempuan itu terus berputar-putar di telinga Arion.

“Elara Gabriela,” gumam Arion sambil menyalakan komputernya dan duduk di kursi gaming yang sudah berusia 3 tahun itu.

Arion tinggal di sebuah apartemen studio kecil. Ketika dia membuka pintu langsung bisa terlihat tempat tidur yang di depannya ada meja komputer tempat dia membuat musik, dengan MIDI controller, mikrofon, kamera untuk live stream dilengkapi dengan seperangkat komputer untuk membuat musik.

Tempat ini dia sewa sendiri, namun Juliana juga turut membantu Arion untuk membayar sewa. Bagi Juliana, Arion hanyalah anak kecil yang berteriak setiap malam ketika dia merindukan sang ibu. Juliana selalu menjadi orang pertama yang mendukung apapun yang ingin dilakukan oleh Arion.

Meskipun musik itu merupakan bentuk kekesalannya terhadap ibunya yang juga kakak kandungnya. Arion tidak pernah bertanya padanya dan Juliana pun tidak membahas kejadian di mana kakaknya Dewi meninggalkan anaknya sendirian.

Arion menyempatkan diri untuk memasak mie instan. Dia tahu hari ini akan panjang, ia ingin mencari tahu tentang perempuan yang mengkritik tapi juga memuji sedikit musiknya.

Arion membuka situs pencarian dengan naluri pencarian dan pengetahuannya akan jejak digital, mengombinasikan seluruh kata kunci yang setidaknya dia ketahui tentang perempuan itu. Dari nama, Elara Gabriela, kampung seni di sekitar Jakarta Selatan dan juga musisi.

Hasil dari pencarian dengan kata kunci tersebut cukup efektif, Arion menemukan profil Instagram milik Elara. Dia merupakan mahasiswi seni dari Art, Fashion, and Music College yang terkenal di Jakarta Selatan, bukan sembarang orang yang bisa masuk ke kampus tersebut.

Di akun pribadinya, Elara sering membagikan melodi-melodi buatannya, atau arasemennya sendiri, begitu juga dengan cover lagu-lagu dari berbagai negara, Jepang, Amerika dan Indonesia.

Melodi buatannya sering terasa begitu memilukan, bahkan untuk Arion yang juga merupakan musisi, melodi itu terasa sungguh menyayat hati, ketika tuts-tuts grand piano itu menyentuh nada tinggi, seolah ia ingin memecahkan sesuatu dan mendobrak sesuatu, namun dia berhenti di tengah jalan, seirama dengan saat ia merendahkan nada, lalu menyelesaikan musiknya.

Terlalu emosional dan terlalu personal.

“Dia ngatain gue terlalu eksplisit, tapi nada buatan dia juga terlalu personal, dia pasti lebih dari ini,” ucap Arion sambil menggulir halaman profil itu kebawah.

Dia melihat foto-foto kegiatan Elara yang tidak banyak, tapi memiliki informasi yang padat dan berisi.

Book cafe Oriental, kafe yang terkenal ramai pengunjung karena tempatnya yang cozy dan juga sangat menarik untuk mengerjakan tugas, membaca buku atau untuk makan.

Beberapa kali foto yang dibagikan oleh Elara berada di sana, sepertinya ini merupakan tempat favoritnya, beruntunglah Arion, tempat itu dekat dengan daerah apartemennya. 

“Kita lihat, sampai mana dia akan mempertahankan topeng yang dia buat.”

Senyum taring keluar dari Arion seraya dia berdiri lalu merenggangkan tubuh dan akhirnya pergi ke tempat tidur.

***

Angin sepoi-sepoi mengibarkan rambut pendeknya yang tidak terikat, wangi bunga jasmine yang intens, di padukan dengan wangi orange blossom yang segar, siapapun yang lewat di sekitar sana langsung mengenali wangi itu, dan siapa yang memakai parfum dengan wangi itu.

Kampus Art, Fashion, and Music memiliki konsep gedung terbuka, dimana-dimana banyak pohon dan meja serta kursi-kursi panjang, cocok untuk mahasiswa seperti mereka yang biasanya banyak melakukan pekerjaan secara berkelompok, ataupun sekedar berdiskusi antar mahasiswa, atau tidur di kursi panjang karena semalaman mengerjakan tugas.

Elara menjadi salah satu mahasiswa yang memanfaatkan fasilitas itu untuk mengerjakan tugas yang tidak kunjung selesai atau terkadang tidur di bangku panjang karena tidak tidur semalaman. 

Sejak semalam dia masih saja bersitegang dengan laptopnya, dia sudah mencoba mengganti cara bernyanyinya, atau instrumen yang sedikit berubah, tapi ternyata—Aria sang dosen tetap menolak tugasnya, katanya musiknya masih tidak memiliki jiwa.

“Ra, saya kasih kesempatan sekali lagi sampe akhir bulan ini, kalau gak bisa keluarin jiwa pas nyanyi, mending kamu main instrumen aja atau kamu cari penyanyi lain untuk nyanyiin lagu ini, tapi kamu paham kan, nilainya gak akan sebesar kalau kamu ngerjain semuanya sendiri.”

Itulah kata Aria, Elara diberikan satu kali lagi kesempatan sampai akhir bulan, dia harus memperbaiki penjiwaannya terhadap lagu yang akan dia bawakan untuk tugas akhir semester ini. Inti dari tugas kali ini adalah produksi. Dia bisa memproduksi lagu dan membawanya sesuai dengan lirik yang sudah ada.

Aria memuji semua aspek yang ada di lagu itu, dari lirik, pemilihan kunci perpaduan piano dan elektronik musik, menurut Aria, Elara memiliki bakat menjadi seorang Produser Musik, background Elara yang pernah belajar musik klasik semasa sekolah memperkaya pengetahuannya akan musik.

Lihat selengkapnya