Symphony of Scars

Ang.Rose
Chapter #5

#4



Tidak pernah ada di pikiran Maya, seseorang yang sudah dia kenal sejak kecil, seseorang yang dulu sangat menjaga dan menyayangi dia, kini telah berubah menjadi seorang monster cinta.

Seseorang yang mudah pergi ke atas kasur, bercumbu dan melakukan aktivitas dewasa dengan perempuan yang dia temui, dimana saja.

Orang gila. Itulah tanggapan Maya tentang versi Dion yang sekarang, orang yang bahkan jauh berbeda dengan yang dahulu dia kenal.

Dion dulu merupakan seorang kakak baginya, seseorang yang selalu menjaganya bahkan tidak mau meninggalkan Maya sendirian, meskipun Maya tahu bahwa mereka bisa bersama karena ibu mereka saling mengenal.

Ya, inilah yang tidak diketahui banyak orang, termasuk Rio yang merupakan teman dekat Dion, ataupun Elara yang merupakan teman dekat Maya, bahwa sebenarnya, mereka berdua, Dion dan Maya sudah mengenal sejak lama, bahkan sejak mereka masih kecil.

Sampai kapan gue harus begini terus.

Helaan nafas itu terdengar keluar dari mulut Maya, dia menatap gedung apartemen tinggi di dekat kampus, tidak ada yang tahu bahwa Dion tinggal di apartemen ini bersama dengan Maya.

Ya, mereka berdua tinggal bersama sejak Maya masuk ke kampus yang sama dengan Dion.

“Sore, mbak May,” sapa satpam lobby.

“Sore juga, Pak,” sapa Maya sambil menundukan kepala dan menuju lift.

Maya mengeluarkan kartu berwarna putih, diarahkan kartu itu ke sensor lift dan menekan angka 35, ketika pintu lift akhirnya tertutup dia menyadari bahwa dia hanya sendiri disana. Maya bersandar pada satu sisi lift, dia menyandarkan kepalanya sambil menutup mata mencoba menyiapkan diri untuk menghadapi apa yang terjadi.

Lo bisa pergi dari Dion. Kalau lo mau.

Kata-kata dari Rio berputar di kepalanya sejak dia meninggalkan kafe. Apa yang dikatakan oleh Rio benar adanya, dia bisa meninggalkan Dion, dia bisa menjauh, tapi masalah diantara mereka berdua, tidaklah sesederhana yang dipikirkan oleh orang-orang.

Maya tidak bodoh, dia tahu bahwa ada permainan dibalik Dion menjadi mentornya atau dia tidak masuk sebagai calon mentor di awal semester, semua karena memang itu ulah Dion dia tahu itu.

Meskipun bersama dengan Dion begitu menyakitkan. Setiap hari ketika dia membuka pintu apartemen yang dia temukan adalah baju-baju yang bertebaran di lantai, dengan sabar Maya mengambil baju-baju tersebut dan menaruhnya di mesin cuci.

Sesegera mungkin Maya memakai headphone untuk menutupi suara maksiat yang terdengar dari kamar Dion yang tertutup. Dia merapikan apartemen itu, dan setiap dia mendekat ke kamar itu, terdengar suara erangan-erangan eksotis meskipun dia sudah memakai headphone.

Maya tidak mengerti sejak kapan Dion berubah menjadi orang yang seperti ini. Orang yang rela tidur dengan siapa pun, baik yang dia kenal ataupun orang yang baru dia kenal.

Dulu Maya masih suka bertanya-tanya, apakah ia hanya ingin mengeksplorasi keingintahuan, apa ia kesepian, atau dia memang hanya suka untuk melakukan seks dengan banyak orang.

Dulu dia bertanya, kini Maya sudah tidak peduli. Karena Dion juga tidak peduli dengan perasaannya.

Selesai membersihkan apartemen itu, Maya melepaskan headphonenya, kegiatan dua orang gila itu telah selesai, tidak lagi terdengar erangan ataupun teriak klimaks dari kamar Dion. Dia pun memesan makanan karena sudah hampir pukul 9 malam.

Sambil menunggu makanan, Maya memeriksa beberapa tugasnya yang belum selesai, sambil melihat ke jendela besar di sampingnya, langit gelap tidak ada bintang namun langit dihiasi dengan lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi.

“Aku udah siapin kamar buat kamu, pemandangan malem disini bagus banget, kamu pasti suka,” ucap Dion begitu dia pertama kali pindah ke apartemen itu.

“Makasih, Kak Di.”

Dion pun memeluknya dan mencium kening Maya.

Lihat selengkapnya