
“Maya langsung balik sendiri?” tanya Elara.
“Iya, dia ada urusan katanya, duduk dulu sini, aku mau ngomong.”
Elara menurut pada Rio dan duduk kembali ke tempatnya sambil makan es krim yang dia pesan.
“Aku udah bilang sama Dion, kita manggung di acara On-Off.”
“Hah!? Yang bener aja.”
“Beneran bukan bohong ini.”
Percakapan itulah yang terjadi di kafe setelah Maya meninggalkan mereka berdua. Tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang dipikirkan oleh Rio maupun Dion. Elara tahu bahwa susunan acara sudah selesai di buat, dan seharusnya tidak ada tempat untuk dia bisa masuk untuk tampil.
Tapi memang sepertinya percuma, Rio dan Dion seakan memegang kartu masing-masing yang membuat mereka bisa saling menyiakan permintaan.
Elara merebahkan badannya ke kasur, sambil melihat ke langit-langit kamar, mencoba mencari inspirasi, apa yang harus dia lakukan apa yang harus dia bawakan.
Tring~!
Namun suara panggilan telfon membuyarkan lamunannya, seperti biasa dia tahu panggilan siapa itu.
Orang yang tidak melarangnya tapi juga tidak membelanya.
“Halo ma?”
“Halo La, kamu di kosan?”
“Iya aku baru pulang dari kampus, ini lagi istirahat, kenapa ma?”
“Papa nanya, kamu kapan kamu jadi interview di tempat temen papa?”
Elara menghela nafasnya berat. Ini yang dia maksud. Ayahnya tidak setuju ketika Elara masuk ke sekolah seni apalagi bermain musik, sang ibu tidak pernah melarang tapi juga tidak terlihat senang ketika Elara bahkan bisa masuk ke sana dengan jalur prestasi serta mendapatkan beasiswa.
Ketika dia mengabarkan hal itu tidak ada satu pun orang yang terlihat senang atau bahagia, dia bisa melihat perbedaan yang diberikan oleh keluar temannya dan keluarnya sendiri.
Bahwa ini benar-benar jauh berbeda.
Tidak ada satu pun yang senang mendengar kabar itu, hanya sang tante yang bahagia dan bangga ketika Elara mengabarinya bahwa dia diterima.
“Bisa gak, sekali aja, mama telfon aku nanyain kabar, aku baik apa gak, sehat apa gak, kenapa justru ini terus?”
“Lala kamu kan tahu mama gak maksud kaya gitu ke kamu, tapi masalahnya kamu tahu sendiri papa kamu kaya gimana. Mama gak bisa apa-apa.”
“Bisa ma! Mama bisa lebih perhatian ke aku dan gak selalu ikut-ikutan neken aku. Aku tahu papa sama mama gak suka aku sekolah disini, aku juga gak minta uang jajan, aku urus hidup aku sendiri, tapi kenapa masih aja?”
“Tapi untuk hal ini mama setuju sama papa La, kamu gak bisa hidup dari sana, kamu pasti bakal kekurangan.”
“Ma, lebih baik aku kekurangan daripada aku gak bahagia.”
“Kamu pikir bahagia bisa ngasih kamu makan?”
Elara tidak menjawab dan langsung mematikan panggilan tersebut, dia sudah cukup bertengkar dengan ibunya, dia sudah cukup bertahan seperti ini. Elara bangun dari tempat tidurnya, dia meletakkan ponselnya di tripod, menyalakan piano dan memainkan lagi lagu yang sempat dia buat sebelumnya.