Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat
Di balik gimnasium SMA 3 BANDUNG, sebuah tontonan kejam sedang terjadi. Sekelompok siswa berdiri melingkar, tawa keras dan ejekan mereka menggema di dinding bata saat mereka tanpa ampun memukuli siswa lain yang terkapar di tanah.
"Hahaha, lihat si pengecut ini, dia mencoba melawan!" seru seorang anak laki-laki berpenampilan garang dengan seragam sekolah, suaranya dipenuhi keganasan.
"Haha, menyedihkan sekali dia!" sahut yang lain, hinaan mereka seperti paduan suara serigala yang merayakan dominasi mereka.
Berdiri diam, dengan aura sombong dan berkuasa, adalah pemimpin kelompok itu. "Bocah, beraninya kau menabrakku dan mengotori seragam sekolah mahalku?" katanya, suaranya dipenuhi dengan penghinaan.
*Sial, apakah aku, Gio Dirgantara, akan selamanya dipermalukan seperti ini?* Anak laki-laki yang dipukuli di tanah itu, Gio, mengutuk dalam hati, pikirannya dipenuhi amarah dan ketidakberdayaan.
Gio adalah siswa beasiswa, berasal dari panti asuhan dan latar belakang yang miskin. Dalam upayanya mengejar kemandirian, ia meninggalkan panti asuhan dan mendaftar di SMA 3 Bandung, berharap dapat membangun kehidupan baru untuk dirinya sendiri. Ia bekerja paruh waktu hanya untuk membayar sewa dan bertahan hidup, sebuah perjuangan terus-menerus melawan dunia yang tampaknya bertekad untuk menjatuhkannya.
Ibu angkatnya di panti asuhan pernah menceritakan kisahnya. Ia ditemukan sebagai bayi di dalam keranjang di dekat tempat sampah. Keranjang itu hanya berisi dirinya dan sebuah kotak logam kecil yang tidak bisa dibuka, bagaimana pun caranya. Selain dirinya dan kotak logam, Ibu angkatnya juga menemukan Kalung yang melingkar di lehernya, Di kalung itu, terukir nama "Gio Dirgantara," yang kemudian menjadi Nama dan identitasnya sekarang.
"Hei, bocah, kenapa diam saja? Apa kau tuli?" bentak sang pemimpin, kesal dengan kebisuan Gio. Namanya Rendy Wijaya, keturunan dari keluarga Wijaya yang tangguh di Bandung.
"Ah, maaf, Rend. A-aku... aku tidak sengaja," Gio tergagap, memaksakan ekspresi permintaan maaf di wajahnya yang sudah memar.
Melihat permintaan maaf yang terpaksa itu, Kekesalan Rendy seketika berubah menjadi amarah yang meledak-ledak. "Apa? Kau tidak suka? Tatapan di wajahmu itu adalah sebuah tantangan!" teriaknya. "Pukuli dia lagi! Jangan berhenti sampai bel sekolah berbunyi!"
Para berandalan di sekeliling mereka menyeringai, mata mereka berbinar dengan kegembiraan sadis saat mereka mendekati Gio seperti kawanan serigala.
"Sialan kau, Rendy! Itu tidak sengaja! Kenapa kau selalu melakukan ini?! Kenapa kau selalu menghina dan memukuli aku?!" Gio berteriak, sebuah tangisan putus asa yang didorong oleh amarah yang murni dan tak terkendali.