“Wuiiih, … cantik lhoo, … ya, Bi…?” ibuku berusaha cari dukungan ke Bi Tarni seraya memujiku sebagaimana layaknya ibu memuji anak perempuannya ketika aku keluar kamar hendak bergegas ke kantor.
“Ya iyalah, mama yang bilang.”
“Ngga beneran, lho ini.”
“Standar banget, sih ma, orang pake jilbab dibilang cantik. Dimana-mana kek nya gitu orang-orang.”
“Ih, ngga ya serius ini.”
“Bukannya emang udah cantik ya, ma selama ini? Hehe … atau jangan-jangan selama ini ‘B’ aja?” aku terkekeh menyambut pujian ibuku yang sepertinya biar aku semakin semangat berjilbab.
“Ya, … ii … iyyyaaaa, siiih … heuh, pede banget lagi kamu …,” ibuku setengah menahan tawa geli lalu tersenyum sambil mengelus kepalaku, anak semata wayangnya ini yang kali ini tertutup rambutnya dengan sehelai jilbab halus dan panjang berwarna hijau lumut.
“Ngga, … gini … beda, Ra kalau pake jilbab itu apalagi syari gini bagus, cantiknya lebih ke anggun jadi bikin orang respek gitu, lho … apa ya, semacam segan gitu lah … jadi bukan cantik sembarang cantik, beda.”
“Iyaa iyaaa, aamiin. Udah ya mah, Bi, … Dara ke kantor dulu. Assalamu'alaikum.” Tak lupa kucium tangan ibuku yang masih agak basah bekas cuci piring.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Ibuku dan Bi Tarni menjawab hampir berbarengan seraya terlihat dari ujung pelipis mataku bahwa mereka seperti tertegun karena biasanya ucapan pamitku lebih sering mengucapkan, ‘Daah, ma, bi … !‘
Sebelum kudekati pintu kaca yang bisa terbuka otomatis di kantorku, rasanya lumayan deg-degan juga. Karena selain aku kini berubah penampilan jadi berjilbab, jilbab yang kukenakan ini yang modelnya syari, bukan yang dililit di kerudung atau yang banyak digunakan atau sedang trend. Tapi apapun tanggapan orang-orang aku tak peduli. Karena kalau sudah niat berhijrah ya jangan terlalu dipusingin tanggapan orang selama kita tidak melakukan kesalahan, apalagi sekadar ganti jenis pakaian yang notabene tidak merugikan orang lain. Namun aku yakin bekerja di kantor dengan jumlah karyawan hampir seribu orang dalam satu gedung ini, kemungkinan untuk berlama-lama dikomentari (jika ada pun), tidak akan bertahan lama. Dan untungnya kultur perusahaan teknologi ala startup kekinian ini tidak terlalu doyan gosip. Tidak seperti perusahaan konsultan IT kolot tempat aku bekerja sebelumnya yang sudah berdiri puluhan tahun lamanya. Yah, walaupun kekurangannya perusahan tempat aku bekerja sekarang ini lebih riskan atau sarat politik walaupun hanya terjadi di divisi dan orang tertentu saja ketimbang perusahaan konsultan IT terdahulu.
“Wooo … ,“ salah satu rekan kerjaku Risma, seorang QA Engineer berseru seraya menatap dari atas ke bawah kemudian balik lagi ke atas dan terpana. “Ck … ckk … ck … ckk …, Alhamdulillaaah.”
“Sshhh … ,” jari telunjukku menutup bibir seraya aku terus berjalan menghampiri meja kerjaku.
Beberapa rekan kerjaku yang lain ikut terpana, beberapa cuek, beberapa tak peduli, beberapa memang tak mengenalku. Karena kantor ini cukup besar. Yah, tak apalah setidaknya ini hanya akan berlangsung sehari, itupun saat jam awal kantor saja. Lagipula kita semua sudah dewasa, bukan anak SMA lagi. Dan hijab syari pun sebetulnya sudah mulai banyak dipakai akibat banyaknya bermunculan dakwah soal jilbab syari di social media sejak era digital ini.
Sani mengacungkan jempol ke arahku dari jarak 4 meter dekat dispenser kantor dan tersenyum memperlihatkan gigi dan behelnya.
“Gimana, gimana, bu? Nyaman?” tanyanya penasaran ketika kami berdua sudah sama-sama berada di meja kerja kami. Mungkin kalau aku rubahnya dengan menggunakan kerudung lilit pendek reaksi orang bisa lebih kalem dan tak sedetail ini. Tapi tak apalah toh segelintir karyawan perempuan lainnya ada juga koq yang pakai jilbab syari. Seperti kataku tadi, sudah mulai banyak yang pakai.