Hah? Sani pun spontan tak sengaja melihat handphoneku karena kami berdua sedang berbincang di mushola sembari Sani membetulkan jarum pentul di kerudungnya. Selama setahun ini seingatku Raga hampir tidak pernah nge-likes Instagramku, bahkan aku yakin tidak pernah sama sekali sejak kejadian perselingkuhan tersebut begitupun denganku. Postingan terakhirku memang baru saja di-upload, yaitu fotoku full badan hasil jepretan Sani dari jauh sekitar tiga meteran dan dari posisi belakang punggungku saat di cafetaria kantor tadi setelah cukup lama tak update. Spontan akupun membuka notifikasinya dan benar saja yang dilikes foto yang itu dan dengan agak sedikit menyesal dengan kespontananku tersebut di depan Sani seolah memperlihatkan bahwa aku memang belum move on sepenuhnya. Dan karena itu postingan pertamaku dengan jilbab panjang, beberapa likes dan komen memang menghampiri notifikasi Instagram-ku. Namun bagian notifikasi dari Raga ini pas sekali aku dan Sani spontan melirik ke layar.
Sani memicingkan mata heran dan agak memanyunkan bibirnya, seperti tidak ridho Raga ngelikes postinganku seolah siap melindungiku. Dulu Sani dan aku dengan masing-masing pasangan pernah semacam double date saat ada acara ulang tahun atasan kantor, jadi Sani pun memang mengenal Raga (Astagfirulloh, double date dan ulang tahun, hal yang sudah tidak bisa aku lakukan lagi). Akupun sedikit termenung, bersikap seolah biasa saja padahal jelas ditahan. Sani hampir tidak berkata apa-apa, terlebih kami baru saja membicarakan soal perjodohanku.
“San, aku di sini dulu yah sebentar, nanti nyusul.”
Sani mengerti dan mengangguk dan langsung beranjak pergi tanpa bertanya apapun. Kadang dia bisa menempatkan kekepoannya dengan baik atau mungkin karena sesama perempuan jadi paham.
Ada muncul rasa gemetar dan keringat dingin sambil sesekali memperhatikan postinganku kembali. Padahal itu cuma likes yang pastinya tidak berarti apapun apalagi wajar saja bagi orang yang tahu perubahanku dari sebelumnya, jadi ya wajar saja mungkin Raga ngelikes. Akupun tidak ada rasa ge er sama sekali tentunya. Karena orang lain pun turut ngelikes dan komen atas perubahan penampilanku ini. Hanya saja sepertinya rasa gemetar ini adalah reaksi traumaku. Berusaha menenangkan diri, akupun menghela nafas panjang dan berdzikir saja, beristigfar agar setidaknya aku bisa konsentrasi lagi bekerja dan bisa berjalan di seputaran kantor tanpa terlihat kebingungan dan oleng, mana habis ini ada rapat lagi dimana aku harus presentasi.
Sebetulnya berdzikir ini jadinya rasanya mirip dengan ketika psikologku dulu mengajari mindfulness, semacam meditasi dengan mengatur nafas secara berkala hanya saja kali ini posisinya duduk seperti shalat sambil berdzikir. Itu kesimpulan yang aku rasakan sejak tahu bahwa berdzikir juga bisa menenangkan hati. Walaupun sesekali mindfulness juga tidak masalah asal tidak sambil mengucap mantra-mantra atau apapun itu di luar dzikir.
Aku kembali mengulang menarik nafas demi menenangkan diri sambil berdzikir dan mengibas-ngibas tanganku dengan reflek dan agak cepat di depan wajah seolah seperti kegerahan walau musholanya ber-AC dan gerakan itu tidak begitu kusadari, seperti spontan saja.
~
Pukul 17.18 WIB seminggu setelah peristiwa likes feed Instagram,
Aku langsung bergegas pulang keluar gedung kantor menuju tempat parkir mobil Agya putih-ku. Biasanya di Bandung jalanan cukup hektik dan macet di waktu jam pulang kantor ini, walau tidak terlalu parah. Langit mulai memerah dan kali ini agak keunguan mengiringi tenggelamnya matahari dengan hangat dan ramah. Aku lebih nyaman shalat Maghrib di rumah ketimbang di kantor, walau tentu jika pulangnya agak ngaret, mau tak mau shalat dulu di mushola kantor.
Alhamdulillah, shalat Maghrib keburu dan bisa dijalankan di rumah dengan tenang. Tidak terlalu rusuh. Sebelum makan malam ba’da isya, kucoba menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an, hal yang selama ini aku tinggalkan, bahkan boleh dibilang total tinggalkan. Akupun sadar harus belajar lagi dalam memperbaiki bacaan Qur’anku, terutama pada makhorijul huruf. Secara garis besar aku sudah tahu namun belum secara detail cara pengucapannya pada bagian tenggorokan dan lidah. Dengan bacaan yang baik, konon walaupun kita tidak membacanya dengan nada yang dibuat indah, terdengarnya akan tetap bagus. Ini jadi PR-ku lainnya, belajar ngaji lagi!
Tok … tok … tok …