“Hah?!” mata ibuku membelalak tampak seperti terpengaruh sinetron Indosiar yang suka ditontonnya sehingga dibawa ke kehidupan nyata kisah anak perempuannya.
“Ssshhh … mama, aku suruh Bi Tarni biar dibawa ke ruang TV aja, jangan di teras, aku ngga bisa lagi ngobrol sama laki-laki cuma berdua tanpa tujuan jelas dan bukan mahram! Jadi harus ada mama, jadi di ruang tamu aja. Terus mama, TV nya punten agak dikecilin biar Raga ngga ngomong macem-macem.”
“Heuh? Ooh, ii … iya iya …,” mamaku berusaha mencerna semua kalimat itu dalam hitungan detik diselingi ekspresi tertegun sebentar.
Ah, setidaknya semoga dengan -barangkali saja- keterasingan perubahanku baik prinsip dan pakaianku ini di mata Raga jika aku jelaskan soal mahram-mahram nanti, apapun niatnya dia ketemu aku, maka sekali ini saja aku akan sampaikan ke dia kalau aku udah ngga bisa ditemuin ‘seenaknya’ kaya dulu lagi, walaupun mungkin memang hanya sekarang aja untuk balikin buku. Sekali ini saja, dia seharusnya paham setelah itu. Lagian ada-ada aja. Selingkuh koq datang tiba-tiba tak diundang setelah sekian lama. Heran aku tuh!
Kuganti mukena yang masih menempel di badanku bekas shalat maghrib tadi dengan balutan gamis hitam dan khimar panjangku yang berwarna pink tua dengan agak terburu-buru agar tak banyak waktu terbuang di sisi lain sekaligus juga saat ini, … koq berasa mau pingsan. Reflek kuraih parfum untuk diteteskan ke leher, namun untung saja aku teringat bahwa perempuan seharusnya tidak diperkenankan pakai parfum di depan laki-laki non-mahram, karena itu salah satu atribut untuk mengundang syahwat. Ada rasa ngga nyaman di sekujur tubuhku, semacam agak panik. Sesekali mataku mau berlinang tapi aku tahan.
Ni orang maunya apa ya. Putuskah dia? Ah, bodo amat.
Raga memang bukan termasuk laki-laki muslim yang suka nyinyir terhadap agamanya sendiri, bukan. Jadi, apakah karena foto gamis di Instagram yang aku kenakan minggu lalu yang dia likes kemudian jadi bikin dia penasaran? Ah, itu terlalu berlebihan rasanya, terlalu ge er untuk mikir sejauh itu. Tapi alasan balikin novel juga lebih berlebihan lagi karena kenapa baru sekarang.
Raga walau tampaknya belum berniat mendalami agama sama seperti diriku dulu, tapi dia sangat open dengan berbagai ilmu Islam jika muncul berseliweran di timeline social media. Hanya saja sebagai orang yang belum ada niat belajar lebih lanjut, jadinya belum benar-benar membedakan mana yang shahih/benar dan mana yang tidak tepat. Dia sebelum aku unfollow terlihat masih suka likes dan follow akun-akun dakwah segerintil secara random.
“Ra, … ,“ Raga menyapa dengan tatapan canggung dan berusaha senyum ramah.
“Raga, Assalamu’alaikum.” sapaku seraya memberikan isyarat sedikit menunduk dengan telapak tangan kananku mendekap menutupi depan dada dari jarak sekitar satu meter di depannya layaknya bersalaman ala masa pandemi Covid-19 dimana tangan tidak sampai menyentuh tangannya. Aku memasang wajah datar tapi berusaha sedikit ramah. Melebarkan sedikit bibirku tapi tidak sampai senyum. Duh, serba salah, semoga tidak dikira sombong, aku cuma coba menjaga pandangan tapi ah, toh dia dulu menyakitiku. Kenapa harus mikirin perasaan orang sih, aku ini.
“Wa ... wa’alaikusalam … ,”
Raga pun agak terlihat kikuk dan gugup, seperti kaget dengan penampilanku, dengan sapaan salamku dan dengan tanganku yang tidak dikenai. Yang tadinya hampir mau berdiri dengan bersalaman tempel tangan, dia jadi menahan diri dan menarik tangannya kembali lalu hampir saja mau terjatuh menjungkal namun sofa satu seat yang akan dia duduki kembali itu menahan kakinya sehingga dia tidak jadi terjungkal. Aku yakin jika penampilanku tak rubah dia akan lebih santai walau membawa seonggok kesalahan dari masa lalu sekalipun. Ada untungnya juga Ya Allah, muslimah menggunakan jilbab sesuai syariat ini bisa merubah pandangan laki-laki, yang diharapkan jadi lebih santun.
Aku duduk di sofa yang juga satu seat berseberangan dengan tempat Raga duduk, dibatasi meja tamu. Ibu tak jauh dari ruang tamu, sedang lanjut menonton sinetron Indosiarnya. Untung saja ruang TV dan ruang tamu ini tidak diberi sekat. Sengaja agar tidak terlalu sumpek karena rumah cluster pada umumnya kecil-kecil luasnya. Tidak seperti tipe-tipe rumah di komplek lama kami di Jl. Suren.
“Ra … kita … ngga di teras aja?”, katanya sambil menunjuk ke arah teras dengan jempol tangan kanannya.
Aku menggelengkan kepala berkali-kali masih dengan setengah senyum yang irit.