Ta'aruf Online

Sinar Stories
Chapter #6

Sakit

Lalu tak mau menunggu berlama-lama, aku pun mengangguk halus dengan yakin setelah dia minta maaf.

“Oke …”, kataku agak melemah. Jujur saja ini ngga mudah, seperti ada jarum di tenggorokan yang mencoba mencari ruang atau lubang kecil ke dalam jantung atau hati walau hanya karena mengucap dua suku kata, ‘o-ke’. Aku berdehem membersihkan tenggorokan yang terasa seperti habis kemasukan jarum ini, bibir pun jadi tiba-tiba terasa kering. Tiba-tiba reflek aku mencondongkan badan dan menumpu kedua sikut lengan di pangkuan pahaku sembari menutup wajahku dengan kedua jemari tangan sambil menghela nafas. Sesaat setelah sekitar 5 detik aku menutup wajah yang terasa seperti 15 menit itu, setelah aku sadar bahwa gesturku mulai melemah seperti itu apalagi Raga memperhatikanku, aku langsung duduk tegap lagi. Jaim, Ra … Jaim! Batinku berbisik. Harus keliatan kuat.

“Dan … Aku udah ngga lanjut lagi, koq. Udahan … tapi ini cuma FYI aja, ngga ada maksud gimana-gimana.” Lanjut Raga dengan wajah menunduk tak berani lihat ke arahku sambil tangan kanannya menggaruk pundak lehernya karena canggung. Pasti dia bingung, berkata ‘udahan’, padahal dulu itu juga dia ‘udahan’ denganku gara-gara disebabkan hubungan yang dia bilang ‘udahan’ tersebut barusan. Kompleks.

Entah kenapa dia memberitahuku soal putusnya dia dengan selingkuhannya. Padahal kan aku ngga nanya juga, walau tak bisa dipungkiri informasi tersebut lumayan juga didengarnya. Bukan karena aku senang, tapi aku tak sangka. Mungkin memang sekadar FYI saja dan hanya agar membuatnya netral di tengah permintaan maaf tadi, dan tidak ada maksud lain darinya, pikirku.

Aku menghela nafas lagi dan hanya mengangguk pelan nan mantap beberapa kali sambil menilap kedua bibirku menunjukan aku paham dan sudah menerima (kenyataan) seraya melihat ke arah jendela yang tirainya terbuka setengah di samping dinding ruang tamu sehingga cahaya lampu kuning dari luar sedikit memasuki ruangan dan agak membuat mataku silau karena sedikit menyoroti wajahku sementara dalam ruang tamu hanya menyala pada lampu remang di sudut.

Aku ingin kelihatan kuat dan menunjukan tidak butuh segala informasi tersebut termasuk maaf nya, tapi juga tidak tahu harus dengan berkata apa. Tiba-tiba hanya bisa membisu dan ngga banyak bicara.

“Ya udah, Ra … aku pulang dulu ya. Maaf banget udah ganggu waktu istirahat kamu. Aku minum ya teh nya”, katanya memecah keheningan sambil beranjak berdiri dan berpamitan pada ibuku. Ibuku untungnya biasa saja, tidak ada emosi-emosi yang diperlihatkan. Mungkin karena pikirnya peristiwa perselingkuhan pada anak muda biasa saja terlepas dari halal tidaknya semua hal ini. Berbeda mungkin ceritanya jika ini terjadi dalam pernikahan. Entahlah.

Lihat selengkapnya