Ta'aruf Online

Sinar Stories
Chapter #7

Menawarkan Diri

Alhamdulillah keesokan harinya badanku sudah enakan dan siap kembali ke kantor. Jadi tidak sampai harus ke dokter. Bukannya anti dokter, justru ilmu kedokteran itu sangat berharga koq dalam Islam setelah ilmu agama itu sendiri. Hanya saja aku suka malas antre. Jadi kalaupun benar-benar butuh pengobatan lebih lanjut, aplikasi chat dengan dokter itu sangat membantuku.

Paska putus dengan Raga dulu, aku tidak terlalu mencari dan memperhatikan kaum laki-laki. Males banget. Walaupun ada dua orang lelaki yang mencoba mendekati, yang satu sekantor, yang satu dari startup lain. Hanya saja mungkin waktunya belum tepat, sekitar 2-3 bulan paska putus dengan Raga. Namun karena dengan niatan hijrah ini, rasanya untuk menyengaja menjomblo juga kurang afdhol. Jadi selain bekerja, move on, kini ada tugas-tugas tambahan seperti belajar agama lagi, berbenah dan memperbaiki diri serta mencari calon suami. Suami yang sama-sama berada di jalan untuk mencari keridaan-Nya. Maka bukan sekadar lelaki di sekelilingku, di lingkunganku. Bukan.

Kulihat Rony, Lead Engineer di kantor sedang berjalan di lapangan parkir sedang bergegas menuju pintu masuk kantor. Kulihat dia dari dalam mobilku yang baru saja kuberhentikan untuk parkir. Sebetulnya bukannya aku ge er, saat di hari pertama aku mengenakan jilbab panjang ini, Rony seperti terkejut dan memperhatikanku seperti tidak percaya. Aku tidak bilang seperti yang suka ya, melainkan seperti tidak percaya. Rony yang selain rajin shalat di masjid walau mushola kantor cukup besar, jelas memperlihatkan sisi keislamannya dari segi penampilan juga sebagai laki-laki atau ikhwan yang sesuai dengan sunnah ajaran Rasulullah bahwa laki-laki sunnahnya menumbuhkan janggut dan membiarkannya hingga mencapai panjang tertentu dengan celana cingkrangnya atau tidak isbal alias di atas mata kaki. Aku pernah membaca dalil sebagai berikut:

Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.(HR. Muslim no. 625)

Memang hanya tampilan saja bukan patokan. Tapi maksudnya itu hanya segerintil sunnah Nabi tapi tetap Rony jalankan dan taati. Aku pernah menyimak kajian salah satu ustadz sunnah bahwa ciri-ciri penampilan muslim baik untuk perempuan maupun laki-laki perlu dijalani dan dikenakan agar kita tahu dan saling mengenal dari penampilan tersebut, misalkan ketika akan mengucap salam walau belum pernah bertemu atau ngobrol. Kualihkan pandanganku dari kejauhan karena tidak baik juga memperhatikan lawan jenis terlalu lama tanpa ada maksud dan manfaat yang jelas apalagi di luar sepengetahuannya dan sebagai perempuan pun sebaiknya juga menjaga pandangan. Terkecuali memperhatikan ustadz yang sedang ceramah tentunya.

Terbersit keinginan ta’aruf. Aku tidak tahu apakah Rony sudah memilik istri atau belum. Seharusnya, sih sudah ya, mapan serta tampaknya mengenal ilmu syari. Tapi biasanya memang kan kalau perempuan lebih cepat, sih ya. Rony usianya sekitar 3 tahun di atasku, sama kaya Raga. Namun aku benar-benar bingung gimana caranya berta’aruf dengan rekan kantor. Secara teknis perempuan bisa menawarkan diri secara langsung atau lewat perantara. Tapi tetap saja pada prakteknya itu sangat sulit membayangkannya.

Apa aku minta tolong Sani selidiki soal status nya, ya? Dia pasti sangat senang tanpa harus dibayarpun istilahnya. Sani gitu, lho urusan ginian. Walau senang di sini lebih ke kepo, sih. Sani tahu Raga sempat datang ke rumah untuk mengembalikan novel Tere Liye. Dia reflek langsung tertawa, tertawa miris seolah tak percaya dengan alasan Raga untuk sekadar mengembalikan novel sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar ceritaku. Maka dari itu Sani mengatakan dia siap mendukung kalau aku mau berta’aruf, begitupun saat aku ceritakan hal tersebut ke teman SMA ku Nida. Jadi kupikir … mungkin aku tidak harus malu untuk minta tolong Sani cari tahu. Toh, ini berta’aruf bukan naksir-naksiran kaya biasa. Bukan baper-baperan. Yah, ketertarikan, sih ada, tapi bukan ketertarikan yang dibuat berat. Iya iya, ngga ngga.

Tak ada pacaran. Tak ada aturan yang sangat baku dalam proses ta’aruf sebelum khitbah (semacam tunangan tapi syari), asalkan tidak ada pertemuan seperti orang pacaran atau berduaan walaupun via chat jika niatnya pendekatan atau perkenalan, maka seharusnya, sih tidak akan ribet. Jika diperlukan CV misal karena belum terlalu mengenal banyak atau masih dibutuhkan informasi lebih dan tidak enak atau terlalu sungkan jika ditanyakan langsung walau lewat perantara, maka CV bisa membantu. Jadi anggaplah seperti Product Designer atau UX Researcher riset data mengenai user tapi tanpa interview atau ngobrol ssecara langsung antara calon pasangannya. Tapi boleh melalui perantara yang bisa dipercaya, baik itu keluarga atau teman. Kalaupun ada obrolan, itu biasanya langsung melamar. Dan pihak perempuan boleh juga melamar menanyakan langsung untuk menawarkan dirinya. Jadi to the point kalaupun ngobrol, tidak ada istilah PDKT (pendekatan). Karena Islam itu logis dan atau selama berada di bawah aturanNya maka kita ikuti, bukan atas nama perasaan. Maka dibutuhkan naungan yang sama supaya tidak berbenturan atau terhalang ego dan nafsu belaka, yaitu ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para sahabat serta Tabi’in (generasi setelahnya) dan Tabi’ut tabi’in (dan setelahnya lagi). Karena sesuai haditsnya, ajaran Islam yang murni;

Sebaik-baiknya umatku adalah generasi yang aku diutus pada mereka (Sahabat Nabi) kemudian yang setelahnya (Tabi’in) kemudian yang setelahnya (Tabiit Tabi’in).(Hadits Shahih riwayat Abu Daud).

Dengan berbekal kelogisan dan aturanNya inilah aku sebenarnya cukup percaya diri untuk menawarkan diri pada lawan jenis yang sekiranya aku tertarik, terlepas dari ditolak atau tidaknya. Ditolak tentu saja tidak enak dan akan menyakitkan, terlebih setelah kejadian traumatis dulu dengan Raga. Tapi muslim dan muslimah itu harus move on. Lagipula kan tidak ada istilah pacaran dulu. Dan jangan melulu menyengaja stay jalan di tempat. Mungkin boleh sejenak jeda mengistirahatkan hati, tapi harus ingat bahwa ada yang lebih penting dari sekadar kegalauan. Untuk soal kepercayaan diri secara fisik, itu relatif. Namun kalau sekiranya data itu penting terutama bagi ikhwan selain ibuku yang bilang, seringkali masya Allah, aku mendapat pujian bahkan termasuk kata Sani dan beberapa temanku, walau pujian itu seperti tidak penting dalam islam, namun kalau untuk tujuan mencari pasangan, fisik bisa jadi salah satu faktor pendukung.

Aku ingat teman SMA-ku, Delia pernah mengatakan sesuatu saat berkunjung ke rumah dan main-main di kamarku. Di masa itu dia cukup digandrungi kakak kelas sebagai murid baru karena mungkin tubuhnya yang cukup semampai, rambut panjang. Tak jarang orang yang bilang bahwa dia mirip denganku. Namun aku saat itu lebih kurus daripada dia dan mungkin gesturnya tidak terlalu feminin sepertinya walaupun secara pakaian sama saja. Saat itu dia bilang, "Lo tuh lebih cantik daripada gue tau, ga.", aku lupa kami lagi membicarakaan apa saat itu. Yang pasti aku ingat kalimatnya saja. Masya Allah. Semua kelebihan dan kekurangan ini hanya titipan. Dan bagi lelaki shalih walaupun fisik bisa menjadi salah satu faktor penentu, biasanya tidak akan jadi yang utama juga. Karena faktor agama lah yang harus jadi faktor agama. Sisanya fisik, harta serta faktor keturunan keluarga.

“Rony!” Sani menghampiri meja Rony di jam makan siang, di saat kondisi ruang kantor mulai sepi. Sani mengajak bicara Roni empat mata tapi aku pinta Sani untuk tidak perlu di ruangan khusus berdua karena Rony pun belum tentu mau. Cukup dengan sambil berdiri juga tidak apa-apa asal tidak ada yang dengar.

“Ya?”

“Bisa ngobrol sebentar? Tapi bukan soal kerjaan, koq”

“Apaan emang?” dengan suaranya yang agak terdengar berat membuatnya makin terlihat wibawa.

Sani menjelaskan dengan cukup lantang dan agak cepat, supaya terbawanya lebih santai dan bukan seolah ada hal yang harus diwaspadai. Karena bekerja di startup seperti ini suka ada aja panggilan-panggilan yang bikin was was memang.

“Ada yang mau ditanyain, tapi gue yakin lo ngerti tanpa harus dijelasin panjang, tapi ya dirahasiakan aja ya. Ini serius, Ron. Tapi gue yakinlah lu bisa ngerti dan respek, pasti lo juga paham nanti. Yuk, ikut gue, kita berdiri aja sekitar sini, atau mau di sini aja kali ya, ngga ada yang denger kan?”

Rony masih agak kebingungan namun dia setuju untuk ngobrol di sekitar mejanya sendiri. Hanya ada beberapa orang yang masih berada di mejanya namun agak berjauhan. Beberapa masih bermain bilyar. Ya, ada bilyar di tengah-tengah ruang kerja yang luas ini.

"Pertama gue mau tanya dulu, maaf nih sebelumnya, lu udah nikah belum, si'? nanya aja dulu ini. Ada yang nanyain."

Lihat selengkapnya