Ta'aruf Online

Sinar Stories
Chapter #8

Afwan

Setelah shalat maghrib berjema'ah selesai. Kami bertemu di tangga. Yang namanya masjid apalagi maghrib tentu banyak orang. Tapi setidaknya bukan orang kantor. Dan memang kami pun bukan mencari tempat sepi asal masih bisa mendengar jelas pembicaraan.

"Oke ... gimana, Ra?" Rony mencoba bicara duluan untuk memecah keheningan antara kami berdua. Walaupun di sekeliling sama sekali tidak hening. Ada anak-anak bermain saling berkejaran, ada tukang jualan, ada beberapa anak muda seperti sedang diskusi DKM atau juga sekadar janjian shalat maghrib bareng. Tak akan ada yang menyangka bahwa di sini ada momen luar biasa. Luar biasa nekatnya bagiku.

"Ada apa?"

"Iya, Ron. Semoga Rony udah paham dari ngobrol bareng Sani tadi."

Aku menghela nafas panjang. Kami masih berdiri. Kalau kami berdua duduk, serba salah, kesannya berduaan walau jelas kami tidak sedang berduaan. Ribet tapi biarlah supaya lebih cepat, maka lebih baik.

"Duduk, Ra." Tak sangka Rony menawarkan kursi kayu yang atasnya bulat yang entah kenapa ada di dekat bawah tangga. Akupun menurut duduk. Gentle juga, kupikir. Sementara dia tetap berdiri.

"Aku, mau ... menawarkan diri, Ron untuk ... semoga paham ... afwan." aku mengatakannya dengan cukup mantap tapi sambil menunduk dan mengangguk, tanpa memandangnya. Ini bukan film atau sinetron pada umumnya dimana menyatakan perasaan mungkin dengan saling tatap-tatapan. Justru kami berdua malah menghindari itu. Jadi pada intinya saja. Tanpa perlu banyakin bagian bapernya. Diminimalisir.

"................................................................................................"

Rony masih terdiam dan hanya menghela nafas sambil menggigit bibirnya di sela-sela janggutnya yang cukup lebat. Kenapa, Ron?! aku ngga mau jadi beban, batinku. Laki-laki kalau disamperin duluan tapi malah mikir lama, itu bukan pertanda bagus secara logika, kecuali kebalikannya, pikirku. Aku harus siap mental, apapun itu. Harus ikhlas.

"Euu ... euh ... tapi jawabnya ngga usah sekarang, Ron.", kataku mulai stres dan panik. Rony ngga langsung jawab! Diamnya yang selama sekitar 10 detik itu berasa 1 jam. Terus terang rasa insecure-ku membuncah, dan otomatis otakku menghantui Raga yang pernah selingkuh. Aku hampir mau nangis. Susah bagiku untuk tidak sebaper itu. Tapi ini mending, karena tidak ada tatap-tatapan, suasana keheningan dll. Ini lebih baik. Karena Rony pun pasti paham, intinya iya iya, ngga ngga. Dan bukan aku terlalu percaya diri sampai berani seperti ini, setidaknya selama aku putus dengan Raga, kan ada dua laki-laki yang nembak dari kantor yang sama dan dari startup lain, tapi berhubung saat itu aku masih sensi, trauma dan juga memang berasa ngga cocok dengan mereka, jadi aku tolak. Jadi apa yang aku lakukan bukan terlalu kepedean ngga jelas jika dilihat dari tolok ukur ketertarikan laki-laki. Lagipula biasanya dalam berta'aruf, ngga perlu seribet nyari jodoh tanpa ta'aruf kalau memang minat.

"Emm ... afwan, Dara. Ana, ... ada yang juga ana mau ta'arufkan akhwat lain dan orangnya udah tahu. Ana minta maaf banget, Dara."

Suaranya yang berat terdengar wibawa namun kali ini seperti tajam. Aku seperti mau pingsan di tempat. Tapi aku berusaha hanya ingat Allah. Reflek tangan kananku memegang dada, tapi langsung kulepaskan lagi. Seperti reflek menahan sesuatu yang akan jatuh di situ.

"Ana sebenarnya ngga ada masalah ... dengan Dara. Bukan berarti ada yang ana ngga suka, ngga, koq. Cuma ... posisi ana sedang ada .... Ana ngga bilang itu ke Sani karena belum tau ke depannya....afwan."

Tak bisa dipungkiri aku mulai berkaca-kaca. Bukan karena patah hati mungkin. Lebih ke spontan saja. Namanya juga penolakan. Yang bercampur trauma masa lalu.

"Oke, ... Qodarulloh wa maa syaa 'afa ala ... gpp, Ron. Ana pulang dulu ya, udah malem. Makasih, Ron. Tolong jangan bilang siapapun di kantor ya dan kita kaya biasa aja ... Assalamu'alaikum", kataku menunduk sambil mencoba tersenyum dan berkata dengan pelan juga berat tanpa banyak melihatnya.

"Insya Allah, Ra afwan, ... Wa'alaikumsalam ..."

Langsung aku bergegas setengah lari menuju parkir mobil. Roni tampak masih melihat ke arahku waktu aku sempat membalik sebentar ke arahnya.

Sesampainya aku di mobil, hujan tiba-tiba turun deras. Aku termenung. Btw, sempat-sempatnya aku berpikir berarti Rony kehujanan, dong karena dia pake motor sambil kulihat ke sekeliling luar mobil di jalan. Ah, bodo amat, pikirku. Ada rasa ingin nangis, capek. Meski ini, sih rasanya sepertinya tidak sesakit saat kejadian Raga. Karena, ya aku tidak pernah sebelumnya ngegebet atau apapun istilahnya pada Rony. Hanya murni cari suami. Namun, tak kusangka ... aku ... ditolak di saat ... justru sudah hijrah.

Sempat ada rasa insecure membaluti pikiran. Apakah juga Rony ngga mau sama perempuan yang bekerja seperti aku, apalagi di startup. Hampir ngga ada akhwat di startup. Tapi sebagai akhwat tentu aku siap resign kalau suamiku nanti melarang, kan bisa dibicarakan dulu. Atau ... apa Rony enggan kalau sama akhwat model aku yang jebolan hijrah kemarin sore, apalagi orang-orang sini tahu versi aku tanpa hijab dulu, batinku hampir histeris. Ah, segala pikiran berkecamuk mencoba cari-cari alasan logis, yang padahal alasan dari Rony sudah cukup logis kalau memang dia sedang menunggu akhwat yang lain, walaupun kebenaran alasan seluruhnya hanya Rony dan Allah yang tahu. Tapi aku yakin dia jujur. Tentu dia tidak akan mengatakan itu ke Sani, karena kalau dibilang rencana Rony menikah ya belum sampai sana juga.

Lihat selengkapnya