TAAJ (1)
Oleh : Aida
Lembah Lemah Abang sunyi, yang terdengar hanyalah suara air jatuh dan gemericik di bebatuan. Kabut pagi merayap di atas sungai Kaligetih yang melintasi lembah dan memutar menuju Bengawan Prawiro. Tahun sudah mendekati bulan april, embun membeku mulai tampak berkilauan di ujung helai rerumputan. Disisi timur, tanda akan terbitnya fajar shadiq mulai tampak di sela-sela punggung Perbukitan Ijo. Kaki terendah Perbukitan Ijo menjulur ke utara dan tak lebih dari gundukan besar setinggi 200 meter dimahkotai masjid tua bersama deretan bangunan pondok di punggung dan kakinya.
Sedikit demi sedikit lembah itu menggeliat terjaga. Suara parau santri mengaji di speaker masjid mengalir di udara tenang ketika kokok ayam menyentuh atap-atap genteng dan kubah tinggi pondok pesantren Daarul Faizin. Keretak-keretuk tulang dari banyak tubuh yang diongkek ke kanan dan kiri menandai para santri memulai kegiatan paginya. Bangun dari tidur dan beranjak ke pasucen.
Sebuah pintu terkuak dan seorang pria muda melangkah keluar dari pondok kayu di dekat gerbang. Ia berdiri sejenak, menguap lebar -yang buru-buru ditutupi dan menatap masjid yang sudah benderang. Pria itu lalu turun ke cekungan sungai. Ia membungkuk untuk mengambil air wudhu lalu mengeratkan sarung dan merapikan bentuk pecinya lalu berjalan mendaki Bukit menuju masjid. Tidak lama kemudian yang lainnya bergabung.
Di puncak bukit, menempati area paling tinggi di jajaran bangungan komplek pondok berdiri masjid tua bermenara setinggi lima belas meter. Bangunan dua lantai bergaya art deco itu ada sejak masa pendudukan penjajah Inggris sejenak mencecap manisnya madu bumi pertiwi. Disana-sini terlihat beberapa tambahan dan perbaikan fasilitas, namun bentuk asli masjid yang unik tetap dipertahankan.
Pria yang tadi melangkah pertama ke pasucen di tepi sungai -Anas namanya, sekarang melangkah ke mihrab dan menggelar sajadah. Begitu ia datang, buru-buru santri yang sejak tadi membaca ayat-ayat suci Alquran menyudahi bacaannya lalu mengumandangkan adzan dan pujian.
Para santri berjumpalitan sholat fajar terserak di sana-sini. Ini hari keenam Gus Anas menggelar sajadah biru langit di mihrab masjid, bukan sajadah hijau tua dari beludru milik Abah Yai Fadhol. Berarti Abah kiai masih gerah dan bisa dipastikan bahwa imam jamaah sholat subuh kali ini Pak Ma'ruf, adik satu-satunya Abah Yai. Jika Pak Ma'ruf Yang mengimami, maka jarak antara adzan hingga iqomah takkan lebih dari lima belas menit. Untuk empat ratus tujuh puluh santri putra yang semuanya wajib jamaah ke masjid, waktu itu pas-pasan sekali jika ingin sekalian melaksanakan sepaket sholat sunnat.
Tiga orang marbot masjid yang merangkap tukang adzan dan bagian pengumuman alias trio penguasa TOA sudah lama mendapatkan ide untuk membuat para santri tidak ketinggalan. Jika yang Abah Yai yang ngimami, maka salah satu anggota trio, yakni Cak Fatah, Cak Udin dan Kang Zuhda akan adzan dengan gaya dan nada Bayati namun jika Pak Ma'ruf, maka nada Hijazi yang dipakai. Cara ini efektif menekan angka santri kena ta'zir karena telat jamaah karena jika Pak Ma'ruf yang jadi imam, beliau akan meminta pengurus menyelot pagar-pagar stainless di teras masjid dari mana santri masuk. Jangan harap bisa ma'mum masbuq karena pagar akan berderit keras ketika terbuka.
Ketika sang imam muncul di halaman masjid, sontak para santri merapatkan shaf sementara yang berjalan disekitar beliau segera berlarian ke masjid, menuju ruang utama. Di teras hanya ada para santri pengurus, munkar-nakir kawe, melambaikan tangan menyuruh santri-santri yang masih tertinggal untuk mempercepat langkah.