Matahari baru saja tergelincir. panas dan suasana menyesakkan di Kotaraja membuat orang-orang terlihat loyo. Sosok-sosok manusia bergerombol di sana-sini menghembuskan asap rokok yang menyatu dengan asap mobil dan motor jalanan, naik ke atas hingga bertemu dengan sesamanya hasil nafas dan otot cerobong pabrik. Matahari -yang berlindung dibalik awan seakan tak rela dengan sejuknya hawa sesaat dinikmati oleh bumi, menyengat luar biasa membikin gerah.
Namun meski mentari sore itu tidak begitu bersahabat dengan simbaj keringat tak membuat surut kesibukan di kantor sebuah lembaga sosial. Kipas angin menderu mendinginkan udara dan di beberapa bagian bangunan ada ruangan yang penghuninya sudah dimanjakan dengan AC.
Seorang lelaki berumur 40-an dengan rambut panjang ala seniman Djaduk Ferianto memasuki ruangan luas dengan rak tinggi penuh buku lalu berbelok menuju ruang baca yang dibatasi oleh kaca dan diisi deretan meja bersekat triplek.
"Tajbibi?"
Dari salah satu meja bersekat Taj mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Oui, monsieur!"
"Comment allez vous?" Lelaki itu, Henri Orlong adalah mentor dari gadis yang baru saja dipanggilnya.
"Tres bien," Taj mengalihkan pandang dari buku yang dibacanya lalu menutup stabilo yang sedari tadi dia gigit-gigit pangkalnya saat tidak digunakan.
"Sibuk sekali kelihatannya?" Henri Orlong sekejap saja sudah menjulang diatas meja baca. Matanya terlihat kaget memandang tumpukan referensi yang sedang digarap anak buahnya.
Taj mendengus. Memangnya dia sibuk begini karena siapa?
"Jadi anda akan membebaskanku dari tugas mengasyikkan ini?" mata gadis itu membulat penuh harap.
Pria campuran Rusia dan Perancis itu menggosok-gosokkan jari di dagunya yang tak bercukur. Berbicara dengan gadis ini sulit, sering maksud yang dia mau adalah kebalikan yang dia ucapkan. Tipikal gadis cerdas dengan hidup tanpa beban dan senang memancing orang untuk berfikir. "sepertinya saya akan selalu baik hati,"
Taj tertawa. "Monsieur, anda selalu memberi harapan palsu!"
"Apa ini laporan tentang anak-anak down syndrom di Kabupaten Sukamaju?"
Taj menghembuskan nafas keras-keras. "Sedang kuteliti laporan tentang kasus serupa tahun lalu berikut legal formalnya. Mbak Jani kemarin sudah ke kantor polisi untuk menindaklanjuti beberapa temuan kasus penganiayaan serta perkosaan di Kecamatan Wareng dan Sidoharjo. Keluarga korban sudah mau kooperatif. Yang diperkosa oleh sepupunya sendiri itu juga Ibunya sudah mau ikut lapor."
"Ugh, ils sont terribles!"
"Sepertinya kamu serius sekali menggarap kasus ini, Henri."
"Ah, iya. Jika kamu memiliki kakak berkebutuhan khusus yang menjadi korban predator. Kamu akan berkomitmen seribu persen sepertiku," wajah Hendri berubah serius dengan roman muka kiamat menggantung. "Kamu kan juga korban, Taj."
"Yang kualami tidak ada apa-apanya dibandingkan kakakmu atau mereka."
"Mon amie, tidak ada yang tidak apa-apa jika yang terjadi adalah diskriminasi dan seseorang menerima perlakuan buruk sekeliling. Kamu sampai sekarang tidak pernah nyaman di lingkungan rumahmu bukan?"
Taj kembali menghembuskan nafas panjang. Ya memang sudah hampir 10 tahun gadis itu memilih untuk tidak kembali ke asalnya di Lemahabang meski kondisinya sudah lama normal.
"Oke sudah cukup mengingat yang sedih-sedih kamu sudah beberapa jam di perpustakaan ini. Saatnya istirahat sejenak. Lupa tadi mau bilang kalau ada yang ingin bertemu dengan kamu,"
"Quoi est-elle?"